Kamis, 31 Desember 2015

KETAKSAAN (AMBIGUITAS)



KETAKSAAN (AMBIGUITAS)
Ketaksaan (ambiguitas) dapat timbul dalam berbagai variasi tulisan atau tuturan. Sehubungan dengan ketaksaan ini Kempson (1977) yang dikutip oleh Ullmann (1976) dalam Djajasudarma (1993) menyebutkan tiga bentuk utama ketaksaan, ketiganya berhubungan dengan fonetik, gramatikal, dan leksikal. Ketaksaan ini muncul bila kita sebagai pendengar atau pembaca sulit untuk menangkap pengertian yang kita baca, atau yang kita dengar.
Berikut akan dibahasa ketiga jenis ketaksaan yang disebutkan terdahulu, yaitu ketaksaan fonetis, ketaksaan gramatikal, dan ketaksaan leksikal.

1. Ketaksaan Fonetis
Ketaksaan pada tataran fonologi (fonetik) muncul akibat berbaurnya bunyi-bunyi bahasa yang dilafalkan. Kata-kata yang membentuk kalimat bila dilafalkan terlalu cepat, dapat mengakibatkan keragu-raguan akan maknanya. Mis., [beruang] 'mempunyai uang' atau ‘nama binatang’; di dalam bahasa Inggris a near (nomina) 'sebuah ginjal' atau ‘sebuah telinga'; di dalam bahasa Sunda pigeulisna ‘giliran cantiknya' atau pigeu lisna ‘bisu Lisna'.
Ketaksaan fonetik ini terjadi pada waktu pembicara melafalkan ujarannya. Seorang kapten pesawat terbang dapat merasa ragu, apakah fifteen ataukah fifty, yang dapat membahayakan pesawat dan seluruh awaknya, serta penumpangnya. Oleh karena itu, untuk menghindari ketaksaan, si pendengar memohon kepada pembicara untuk mengulangi apa yang diujarkannya.

2. Ketaksaan Gramatikal
Ketaksaan gramatikal muncul pada tataran morfologi dan sintaksis. Dengan demikian, ketaksaan gramatikal ini dapat dilihat dengan dua alternatif. Pertama, ketaksaan yang disebabkan oleh peristiwa pembentukan kata secara gramatikal. Misalnya, pada tataran morfologi (proses morfemis) yang mengakibatkan perubahan makna, prefiks peN-+pukul : pemukul bermakna ganda: 'orang yang memukul' atau 'alat untuk memukul'. Alternatif kedua adalah ketaksaan pada frasa yang mirip. Setiap kata membentuk frasa yang sebenarnya sudah jelas, tetapi kombinasinya mengakibatkan maknanya dapat diartikan lebih dari satu pengertian. Misalnya, di dalam bahasa Indonesia, frase orang tua dapat bermakna ganda 'orang yang tua' atau 'ibu-bapak', demikian pula kalimat "Tono anak Tata sakit." dapat menimbulkan ketaksaan sehingga memiliki alternatif:
1. Tono, anak Tata, sakit (Tono yang sakit)
2. Tono, anak, Tata, sakit (tiga orang yang sakit)
3. Tono! anak Tata sakit (Anak Tata sakit) dst.

3.  Ketaksaan Leksikal
Setiap kata dapat bermakna lebih dari satu, dapat mengacu pada benda yang berbeda, sesuai dengan lingkungan pemakaiannya. Misalnya, kata bang mungkin mengacu kepada 'abang' atau 'bank', bentuk seperti itu dikatakan polyvalency yang dapat dilihat dari dua segi, polisemi dan homonimi. Segi pertama polisemi, Breal di dalam Ullmann (1976), misalnya, kata haram di dalam bahasa Indonesia bisa bermakna:
1. terlarang, tidak halal
Haram hukumnya apabila makan daging bangkai.
2. suci, tidak boleh dibuat sembarangan
Tanah haram atau masjidilharam di Mekah adalah tempat paling mulia di atas
bumi.
3. sama sekali tidak, sungguh-sungguh
Tidak selangkah haram aku surut.
4. terlarang oleh undang-undang, tidak sah
PKI dan DI dinyatakan haram oleh pemerintah.
5. haramjadah
Anak haram jadah atau anak jadah adalah anak yang lahir di luar nikah atau anak yang tidak sah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar