PEMBAHASAN
A. FONOLOGI
Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan
runtutan bunyi-bunyi bahasa disebut fonologi, yang secara etimologi
terbentuk dari kata fon yaitu bunyi dan logi yaitu ilmu. Menurut hierarki
satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi fonetik
dan fonemik. Secara umum fonetik
biasa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa
tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai
pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari
bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna.
Untuk lebih
jelasnya kalau kita perhatikan baik-baik ternyata bunyi [i] yang terdapat pada
kata-kata [intan], [angin], dan [batik] adalah tidak sama. Begitu juga bunyi
[p] pada kata inggris , , dan , juga tidak sama. Ketidaksamaan bunyi [i] dan
bunyi [p] pada deretan kata-kata diatas itulah sebagai salah satu contoh objek
atau sasaran studi fonetik.Dalam kajiannya fonetik, akan berusaha
mendeskripsikan perbedaan bunyi-bunyi itu serta menjelaskan sebab-sebabnya.
Sebaliknya, perbedaan bunyi [p] dan [b] yang terdapat misalnya pada kata [paru]
dan [baru] adalah menjadi contoh sasaran studi fonemik, sebab perbedaan bunyi
[p] dan [b] itu menyebabkan berbedanya makna kata [paru] dan [baru] itu.
1. Fonetik
Fonetik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari
bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi
sebagai pembeda makna atau tidak. Kemudian menurut urutan proses terjadinya
bunyi bahasa itu, dibedakan
adanya tiga jenis fonetik, yaitu fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan
fonetik auditoris.
Fonetik
artikulatoris disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis, mempelajari
bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam mengahasilkan bunyi
bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan. Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai
peristiwa fisis atau fenomena alam. Sedangkan fonetik auditoris mempelajari bagaimana
mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita. Dari ketiga
jenis fonetik ini yang paling berurusan dengan ilmu linguistik adalah fonetik
artikulatoris sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana
bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik
akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik auditoris lebih
berkenaan dengan bidang kedokteran.
2. Fonemik
Identitas
fonem sebagai idebtitas pembeda. Dasar bukti identitas fonem adalah apa yang
dapat kita sebut “fungsi pembeda” sebagai sifat khas fonem itu. Seperti contoh
tentang rupa dan lupa. Satu-satunya perbedaan diantara kedua kata
itu ialah menyangkut bunyi pertama, (r) dan (l). Oleh karena semua yang lain
dalam pasangan kedua kata ini adalah sama, maka pasangan tersebut disebut
“pasangan minimal” : perbedaan di dalam pasangan itu adalah “minimal”. Dengan
perkataan lain, perbedaan antara l dan r adalah apa yang membedakan dari sudut
analisis bunyi rupa dan lupa. Maka dari itu, l dan r dalam bahasa Indonesia
merupakan fonem-fonem yang berbeda identitasnya. Objek penelitian fonemik
adalah fonem yakni bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna
kata.
Untuk
mengetahui apakah sebuah bunyi fonem atau bukan, kita harus mencari sebuah
satuan bahasa, biasanya sebuah kata, yang mengandung bunyi tersebut, lalu
membandingkannya dengan satuan bahasa lain yang mirip dengan satuan bahasa yang
pertama. Kalau ternyata kedua satuan bahasa itu berbeda maknanya, maka berarti
bunyi tersebut adalah sebuah fonem, karena dia bisa atau berfungsi membedakan
makna kedua satuan bahasa itu.
Fonem itu berjenis-jenis. John Lyons (1968), Pater
Ladefoged (1975), Gleason (1958) mengatakan bahwa fonem setiap bahasa dapat
dibagi atas :
- Fonem segmental adalah fonem yang dapat dianalisis keberadaanya. Fonem segmental dapat dibagi atas vokal dan konsonan.
- Fonem suprasegmental adalah fonem yang keberadaannya harus bersama-sama fonem segmental.
B. MORFOLOGI
1.
Pengertian morfologi
Morfologi
adalah bagian linguistik yang mempelajari morfem. Morfologi
mempelajari dan menganalisis struktur, bentuk, klasifikasi kata-kata. Dalam linguistic bahasa Arab morfologi ini adalah tashrif yaitu perubahan
satu bentuk (asal) kata menjadi bermacam-macam bentukan untuk mendapatkan makna
yang berbeda, yang tanpa perubahan ini, makna yang berbeda itu akan
terlahirkan.
Dalam pembahasan
mengenai fonologi, kita memahami bahwa fonem adalah kesatuan bunyi terkecil
yang membedakan arti, seperti pada pasangan mata-mati, kedua bunyi /a/
dan /i/ adalah dua fonem yang membedakan arti. Sekarang kalau kata mati itu
dirubah menjadi kematian atau mati- matian maka dua kata
terakhir ini adalah bentukan baru yaitu dengan menambahkan ke dan an
dan pengulangan mati ditambah an. Dua kata baru ini mempunyai
arti yang berbeda dari makna kata asal mati. Perubahan-perubahan bentuk
inilah yang dipelajari morfologi (morphe = form = bentuk). Karena itu
ada yang memberi definisi morfem sebagai satu satuan bentuk terkecil
yang mempunyai arti. Morfologi ini bukan hanya mencakup studi sinkronik (morphemic),
tapi juga sejarah dan perkembangan dan pembentukan kata (historial
morphology).
2.
Identifikasi morfem
Untuk menentukan sebuah satuan
bentuk adalah morfem atau bukan, kita harus membandingkan bentuk tersebut
didalam kehadirannya dengan bentuk-bentuk lain. Kalau bentuk tersebut ternyata
bisa hadir secara berulang-ulang dengan bentuk lain maka bentuk tersebut adalah
sebuah morfem. Sebagai contoh (1) : Kedua, ketiga, kelima, ketujuh, dsb.
Ternyata juga semua bentuk ke pada contoh (1)
diatas dapat disegmentasikan sebagai satuan tersendiri dan yang mempunyai makna
yang sama, yaitu menanyakan tingkat atau derajat. Dengan demikian bentuk ke
pada contoh diatas, karena merupakan bentuk terkecil yang berulang-ulang dan
mempunyai makna yang sama, bisa disebut sebagai sebuah morfem. Sekarang perhatikan
bentuk ke pada contoh (2) berikut : kepasar, kekampus, kedapur,
dsb.
Ternyata juga bentuk ke pada contoh
(2) dapat disegmentasikan sebagai satuan tersendiri dan juga mempunyai arti
yang sama, yaitu menyatakan arah atau tujuan. Dengan demikian bentuk ke
pada contoh diatas juga adalah morfem.
Dari contoh
(1) dan (2) keduanya merupakan morfem yang berbeda, meskipun bentuknya sama.
Jadi kesamaan arti dan kesamaan bentuk merupakan cirri atau identitas sebuah
morfem.
Sekarang
perhatikan contoh (3) yang juga terdapat pada contoh sebelumnya, kemudian
bandingkan dengan bentuk-bentuk lain yang ada pada contoh (3) : meninggalkan,
ditinggal, tertinggal, peninggalan, dsb.
Dari contoh
diatas ternyata ada bentuk yang sama, yang dapat disegmentasikan dari bagian
unsur-unsur lainnya. Bagian yang sama itu adalah bentuk tinggal atau ninggal
(tentang perubahan bunyi t- menjadi bunyi n-). Maka, disini pun
bentuk tinggal adalah sebuah morfem, karena bentuknya sama dan maknanya
juga sama.
Untuk menentukan sebuah bentuk adalah morfem
atau bukan, kita memang harus mengetahui atau mengenal maknanya. Perhatikan
contoh (4) : menelantarkan, telantar, lantaran. Dari contoh tersebut,
meskipun bentuk lantar terdapat berulang-ulang, tapi bentuk lantar itu
bukanlah sebuah morfem, karena tidak ada maknanya. Lalu, ternyata kalau bentuk menelantarkan
memang punya hubungan dengan terlantar, tetapi tidak punya hubungan
dengan lantaran.
3.
Morfem, Morf dan Alomorf
Seperti
halnya dengan bunyi fonetis semata-mata, yang dilambangkan dengan mengapitnya
diantara kurung persegi, dan dengan fonem- fonem yang diapit diantara garis
kanan, maka morfemmorfem-morfem lazim dilambangkan dengan mengapitnya diantara
kurung kurawal. Misalnya, kata Inggris comfort dilambangkan sebagai { comfort
}, comfortable sebagai { comfort }+ {-able}, uncomfortable sebagai
{comfort}+{-able} dulu, baru {un-}+ {comfortable}, atau (dalam satu rumus)
{{un-}{{comfort}{-able}}} (namun rumus ”ganda” seperti itu hanya mungkin bila
semua morfem adalah morfem segmental).
Dalam
analisis struktur-struktur morfemis, apa yang diapit diantara kurung kurawal
itu disebut (lambang) “morfem”. Kesulitannya (yang deskriptif) dengan
pelambangan seperti itu adalah bahwa tidak semua morfem berupa segmental. Namun
dapat saja memerlukan kata jamak Inggris feet sebaga{foot}+ (katakana) {jamak},
atau jamak sheep sebagai {sheep} +{Ǿ}. Pelambangan seperti “{jamak}” itu sudah
menunjukan bahwa morfem itu merupakan suatu satuan yang abstrak : dapat berupa
segmental (utuh atau terbagi) dapat berupa “nol”, dapat juga berupa nada
tertentu.
Berbeda dengan
morfem itu, almorf-almorfnya adalah jauh lebih konkret, meskipun tetap tidak
mutlak perlu berupa segmental. Akan tetapi demi perian yang mudah kita sering
membutuhkan suatu bentuk yang kelihatannya cukup konkret. Bentuk konkret yang
demikian disebut “morf”.
Jadi,
alomorf adalah perwujudan konkret (didalam pertuturan) dari sebuah morfem.
Setiap morfem tentu mempunyai alomorf, entah satu, entah dua atau juga enam
buah. Atau bisa juga dikatakan morf dan alomorf adalah dua buah nama untuk
sebuah bentuk yang sama. Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum
diketahui statusnya, sedangkan alomorf adalah nama untuk bentuk tersebut kalau
sudah diketahui status morfemnya.
4.
Klasifikasi morferm
Morfem-morfem dalam setiap bahasa dapat
diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria. Antara lain berdasarkan
kebebasannya, keutuhannya,maknanya, dsb [6]
a.
Morfem bebas dan morfem terikat
Morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul
dalam pertuturan. Contoh (dalam bahasa Indonesia) : pulang, makan, dan bagus adalah termasuk
morfem bebas.
Morfem terikat adalah morfem
yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam pertuturan. Contohnya adalah semua afiks dalam bahasa Indonesia.
b.
Morfem utuh dan morfem terbagi
Perbedaan morfem
utuh dan morfem terbagi berdasarkan bentuk formal yang dimiliki
morfem tersebut : apakah merupakan satu kesatuan yang utuh atau merupakan dua
bagian yang terpisah atau terbagi, karena disisipi morfem lain. Contoh morfem
utuh : (termasuk morfem dasar) = {meja}, {kursi}, {kecil}, {laut}, dan
{pinsil}, (termasuk morfem terikat) = {ter-},{ber-},{henti},dsb.
Sedangkan
contoh morfem terbagi (adalah sebuah morfem yang terdiri dari dari dua
buah bagian yang terpisah. Umpamanya pada kata Indonesia kesatuan terdapat
satu morfem utuh, yaitu {satu} dan satu morfem terbagi, yakni {ke-/-an}.
Dalam bahasa Arab, dan juga bahasa Ibrani, semua morfem akar untuk verba adalah
morfem terbagi, yang terdiri atas tiga buah konsonan yang dipisahkan oleh tiga
buah vocal, yang merupakan morfem terikat yang terbagi pula. Misalnya morfem
akar terbagi {k,t,b} ‘tulis’ merupakan dasar untuk kata-kata : kataba (ia
laki-laki telah menulis), katabat (ia perempuan telah menulis,), maktabun
(perpustakaan).
c.
Morfem segmental dan morfem suprasegmental
Perbedaan morfem
segmental dan morfem suprasegmental berdasarkan jenis fonem yang membentuknya.
Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental,
seperti morfem {lihat},{lah},{sikat}dan {ber}. Jadi, semua morfem yang berwujud
bunyi adalah morfem segmental. Sedangkan morfem suprasegmental adalah
morfem yang dibentuk oleh , dsb. miunsur-unsur suprasegmental, seperti tekanan,
nada, durasi, dsb.
d.
Morfem beralomorf zero
Dalam
linguistik deskriptif ada konsep mengenai morfem beralomorf zero tau nol
(lambangnya berupa Ǿ), yaitu morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud
bunyi segmental maupun berupa prosodi (unsure suprasegmental), melainkan berupa
“kekosongan”
e.
Morfem bermakna leksikal dan morfem tak bermakna leksikal
Perbedaan
lain yang biasa dilakukan orang adalah dikotomi adanya morfem bermakna leksikal
dan morfem tidak bermakna leksikal. Yang dimaksud dengan morfem bermakna
leksikal adalah morfem-morfem yang secara inheren telah memiliki makna pada
dirinya sendiri, tanpa perlu berproses dulu dengan morfem lain. Seperti :
{kuda},{pergi},{lari},{merah}. Sebaliknya morfem yang tidak bermakna leksikal
tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri, akan mempunyai makna jika
digabung dengan morfem lain. Seperti : {ber-},{me-},dan {ter-}.
5.
Jenis Morfem [7]
Morfem yang dileburi morfem yang lain kita sebut
“morfem dasar”, dan yang dileburkan itu berupa “imbuhan” atau “klitika” atau
bentuk dasar yang lain (dalam pemajemukan) atau yang sama (dalam reduplikasi).
- Morfem pangkal adalah morfem dasar yang bebas, contohnya: do dalam undo hak dalam berhak.
- Morfem akar adalah morfem dasar yang berbentuk terikat. Agar menjadi bentuk bebas, akan harus mengalami pengimbuhan.
- Morfem pradasar adalah bentuk yang membutuhkan pengimbuhan atau pengklitikan atau pemajemukan untuk menjadi bentuk bebas.
C. SINTAKSIS
1. Pengertian
Sintaksis
Kata sintaksis berasaldari kata Yunani (sun = ‘dengan’
+ tattein ‘menempatkan’. Jadi kata sintaksis secara etimologis berarti
menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau
kalimat.[8] Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antarkata
dalam tuturan[9]. Sama halnya dengan morfologi, akan tetapi morfologi
menyangkut struktur gramatikal di dalam kata.Unsur bahasa yang termasuk di
dalam sintaksis adalah frase, kalusa,dan kalimat. Tuturan dalam hal ini
menyangkut apa yang dituturkan orang dalam bentuk kalimat.
Ramlan (1981:1) mengatakan: “Sintaksis ialah bagian
atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat,
klausa, dan frase .”.
2. Kata
sebagai Satuan Sintaksis
Dalam tataran
sintaksis kata merupakan satuan terkecil, yang secara hierarkial menjadi
komponen pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar yaitu frase. Maka di sini,
kata, hanya dibicarakan sebgai satuan terkecil dalam sintaksis, yaitu dalam
hubungannya dengan unsur-unsur pembentuk satuan yang lebih besar, yaitu frase,
klausa, dan kalimat Dalam pembicaraan kata sebagai pengisi satuan
sintaksis, pertama-tama harus kita bedakan dulu adanya dua macam kata, yaitu
yang disebut kata penuh (fullword) dan kata tugas (funcionword). Yang
merupakan kata penuh adalah kata-kata yang termasuk kategori nomina, ajektifa,
adverbia, dan numeralia. Sedangkan yang termasuk kata tugas adalah kata-kata
yang yang berkategori preposisi dan konjungsi.[10]
3. Frase
Frase lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi satah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat.
Frase tidak memiliki makna baru, melainkan makna
sintaktik atau makna gramatikal bedanya dengan kata majemuk yaitu kata majemuk
sebagai komposisi yang memiliki makna baru atau memiliki satu makna.
Jenis Fase:
1. Frase eksosentrik adalah frase yang komponen
komponennya tidak mempunyai perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya.
Misalnya, frase di pasar, yang terdiri dari komponen di dan komponen pasar.
Frase eksosentirk biasanya dibedakan atas frase eksosentrik yang direktif dan
frase eksosentrik yang nondirektif.
2. Frase endosentrik adalah frase yang salah satu
unsurnya atau komponennya memiliki perilaku sintaksias yang sama dengan
keseluruhannya. Misalnya, sedang komponen keduanya yaitu membaca dapat menggantikan
kedudukan frase tersebut.
3. Frase Koordinatif
Frase koordinatif adalah frase yang komponen
pembentuknya terdiri dari dua komponen atau lebih yang sama dan sederajat dan
secara potensial dapat dihubungkan oleh kunjungsi koordinatif.
4. Frase Apositif
Frase apositif adalah frase koordinatif yang kedua k
komponenanya saling merujuk sesamanya, dan oleh karena itu urutan komponennya
dapat dipertukarkan.
4. Klausa
Klausa
adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif.
Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen, berupa kata atau frase, yang
berfungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, sebagai
objek, dan sebagai keterangan. Badudu (1976 : 10) mengatakan bahwa klausa
adalah “sebuah kalimat yang merupakan bagian daripada kalimat yang lebih
besar.”
Sebuah
konstruksi disebut kalimat kalau kepada konstruksi itu diberikan intonasi final
atau intonasi kalimat. Jadi, konstruksi nenek mandi baru dapat disebut kalimat
kalau kepadanya diberi intonasi final kalau belum maka masih berstatus
klausa.Tempat klausa adalah di dalam kalimat.
Berdasarkan
strukturnya dapat dibedakan adanya klausa bebas dan klausa terikat. Klausa
bebas dalah klausa yang mempunyai unsur-unsur lengkap, sekurang-kurangnya
mempunyai subyek dan predikat, dan karena itu mempunyai potensi untuk menjadi
kalimat mayor. Klausa terikat memiliki struktur yang tidak lengkap.
Berdasarkan
kategori unsur segmental yang menjadi predikatnya dapat dibedakan adanya klausa
verbal, klausa nominal, klausa ajektival, klausa adverbial dan klausa
preposisional. Dengan adanya berbagai tipe verba, maka dikenal adanya klausa
transitif, klausa intransitif, klausa refleksif dan klausa resprokal.
Klausa
ajektival adalah klausa yang predikatnya berkategori ajektiva, baik berupa
kata maupun frase. Klausa adverbial adalah klausa yang predikatnya berupa
adverbial. Klausa preposisional adalah klausa yang predikatnya berupa frase
berkategori.
Klausa
numeral adalah klausa yang predikatnya berupa kata atau frase numerila. Klausa
berupasat adalah klausa yang subjeknya terikat didalam predikatnya, meskipun di
tempat lain ada nomina atau frase nomina yang juga berlaku sebagai subjek.
5. Kalimat
Ramlan
(1981:6) mengatakan : “kalimat adalah satuan gramatik yang dibatasi adanya jeda
panjang yang disertai nada akhir turun atau naik”. Kalimat merupakan satuan
atau deretan kata-kata yang memiliki intonasi tertentu sebagai pemarkah
keseluruhannya dan secara ortografi biasanya diakhiri tanda titik atau tanda
akhir lain yang sesuai.
Kalimat adalah susunan kata-kata yang teratur yang
berisi pikiran yang lengkap. Dalam kaitannya dengan satuan-satuan sintaksis
yang lebih kecil (kata, frase, dan klausa) kalimat adalah satuan sintaksis yang
disusun dari konstituen dasar yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan
konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final. Intonasi final
yang ada yang memberi ciri kalimat ada tiga buah, yaitu intonasi deklaratif,
intonasi interogratif (?) dan intonasi seru (!)
Jenis
kalimat dapat dibedakan berdasarkan berbagai, kriteria atau sudut
pandang. Kalimat inti dan Kalimat Non Inti Kalimat inti atau disebut
kalimat dasar, adalah kalimat yang dibentuk dari klausa inti yang lengkap
bersifat deklaratif, aktif, atau netral, dan afirmarif. Di dalam praktek
berbahasa, lebih banyak digunakan kalimat non inti daripada kalimat inti.
1) Kalimat Tunggal dan Kalimat Majemuk
Kalau
klausanya hanya satu, maka kalimat tersebut disebut kalimat tunggal. Kalau
klausa di dalam kalimat terdapat lebih dari satu, maka kalimat itu disebut
kalimat majemuk. Berdasarkan sifat hubungan klausa di dalam kalimat, dibedakan
adanya kalimat majemuk koordinatif (konjungsi koordinatif seperti dan, atau,
tetapi, lalu) kalimat majemuk subordinatif (kalau, ketika, meskipun, karena)
dan kalimat majemuk kompleks ( terdiri dari tiga klausa atau lebih, baik
dihubungkan secara koordinatif maupun subrodinatif atau disebut kalimat majemuk
campuran./
2) Kalimat Mayor dan Kalimat Minor
Kalau klausa
lengkap sekurang-kurangnya memiliki unsur subjek dan predikat, maka kalimat itu
disebut kalimat mayor. Kalau klausanya tidak lengkap, entah terdiri subjek
saja, predikat saja, ataukah keterangan saja, maka kalimat tersebut disebut
kalimat minor.
3) Kalimat Verbal dan Kalimat Non-Verbal
Kalimat
verbal adalah kalimat yang dibentuk dari klausa verbal, atau kalimat yang
predikatnya berupa kata atau frase yang berkategori verba. Sedangkan kalimat
nonverbal adalah kalimat yang predikatnya bukan frase atau frase verbal, bisa
nomina, ajektiva, adverbial, atau juga numeralia.
4) Kalimat Bebas dan Kalimat Terikat
Kalimat
bebas adalah kalimat yang mempunyai potensi untuk menjadi ujaran lengkap atau
dapat memulai sebuah paragraf atau wacana tanpa bantuan kalimat atau konteks
lain yang menjelaskannya. Sedangkan kalimat terikat adalah kalimat yang tidak
dapat berdiri sendiri sebagai ujaran lengkap, atau menjadi pembuka paragraf
atau wawancara tanpa bantuan konteks.
Dalam bahasa Indonesia intonasi tidak berlaku pada
tataran fonologi dan morfologi, melainkan hanya berlaku pada tataran sintaksis.
Intonasi merupakan ciri utama yang membedakan kalimat dari sebuah klausa.
Ciri-ciri intonasi berupa tekanan tempo dan nada.
6. Wacana
Wacana
adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan
gramatikal tertinggi atau terbesar. Persyaratan gramatikal dalam wacana akan
terpenuhi kalau dalam wacana itu sudah terbina kekhohesian maka akan
terciptalah erensian.
Alat-alat
gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif
antara lain : konjungsi, kedua menggunakan kata ganti dia, nya, mereka, ini,
dan itu sebagai rujukan anaforis, ketiga menggunakan elipsis.
Selain
dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif dan koherens dapat juga
dibuat dengan bantuan pelbagai aspek semantik.
Berbagai
jenis wacana sesuai dengan sudut pandang dari mana wacana itu dilihat.
Pertama-tama di lihat adanya wacana lisan dan wacana tulis berkenaan dengan
sarannya, yaitu bahasa lisan dan bahasa. Dilihat dari penggunaan bahasanya ada
wacana prosa dan wacana puisi.
Wacana
adalah satuan bahasa yang utuh dan lengkap, maksudnya adalah wacana ini satuan
”ide” atau ”pesan” yang disampaikan akan dapat dipahami pendengar atau pembaca
tanpa keraguan, atau tanpa merasa adanya kekurangan informasi dari ide atau
pesan yang tertuang dalam wacana itu.
SIMPULAN
Ruang lingkup sistem
kebahasaan yang mengikat setiap bahasa relatif sama yaitu meliputi sistem
fonologi (tata bunyi), morfologi (pembentukan kata), sintaksis (pembentukan
kalmat). Fonologi merupakan bidang linguistik yang mempelajari,
menganalisis, dan membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa. Menurut hierarki
satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi fonetik
dan fonemik.
Morfologi mempelajari dan menganalisis struktur, bentuk, klasifikasi
kata-kata. Dalam kajian morfologi dikenal istilah morferm yang didalamnya
terdapat jenis dan klasfikasi dari morferm itu sendiri.
Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan
antarkata dalam tuturan. Tuturan dalam hal ini menyangkut apa yang dituturkan
orang dalam bentuk kalimat atau wacana. Unsur bahasa yang termasuk di dalam
sintaksis adalah kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana.
KLASIFIKASI BUNYI BAHASA
1. Vokal,
konsonan, dan Semi-Vokal
Secara umum
bunyi bahasa dibedakan atas : vokal, konsonan, dan semi vokal. Pembedaannya
bedasarakan pada ada tidaknya hambatan (proses artikulasi) pada alat bicara.
a.
Bunyi disebut vokal apabila terjadinya tidak ada
hambatan (proses artikuliasi) pada alat bicara.
b. Bunyi disebut konsonan apabila terjadinya dibentuk dengan menghambat arus
udara pada sebagian alat bicara, jadi ada artikulasi.
c. Bunyi
semi-vokal adalah bunyi yang secara praktis termasuk konsonan tetapi karena
pada waktu diartikulasikan belum membentuk konsonan murni, maka bunyi-bunyi itu
disebut semi-vokal atau semi-konsonan.
2. Nasal dan
Oral
Bunyi bahasa
dapat dibedakan menjadi nasal (segau) dan oral. Pembedaan ini didasarkan pada
keluarnya atau disertainya udara melalui rongga hidung.
a. Apabila udara keluar atau disertai
keluarnya udara melalui rongga hidung, dengan cara menurunkan langit-langit
lunak beserta ujung anak tekaknya, maka bunyi itu disebut bunyi nasal atau
sengau.
b. Apabila langit-langit lunak beserta ujung anak tekak menaik menutupi
rongga hidung sehingga udara hanya melalui rongg mulut saja, maka bunyi yang
dihasilkan disebut bunyi oral.
3. Keras
(Fortes) dan Lunak (Lenes)
Bunyi bahasa
dibedakan atas bunyi keras (fortes) dan lunak (Lenes). Perbedaan ini
didasarakan pada ada tidaknya ketegangan kekuatan arus udara pada waktu bunyi
itu diartikulasikan. Bunyi bahasa disebut keras bila pada waktu
diartikulasiakan disertai ketegangan kekuatan arus udara. Jika tidak disertai
ketegangan kekuatan arus udara disebut bunyi lunak.
4. Bunyi
Panjang dan Pendek
Bunyi bahasa
dibedakan atas bunyi panjang dan pendek. Perbedaan ini didasarakan pada lamanya
bunyi itu diucapkan, atau lamanya bunyi itu diartikulasaikan.
5. Bunyi
Rangkap dan Tunggal
Bunhi
dibedakan atas bunyi rangkap (padu, ganda) dan tunggal.
a. Bunyi rangkap adalah bunyi yang
terdiri dari dua bunyi dan terdapat dalam suatu suku kata.
b. Jika terdapat dalam dua suku kata
yang berbeda bukan bunyi rangkap melainkan bunyi tunggal saja.
Bunyi
rangkap vokal disebut diftong, sedangkan bunyi tunggal vokal disebut monoftong.
Ciri diftong ialah keadaan posisi lidah dalam mengucapkan bunyi vokal yang satu
dengan yang lain salig berbeda. Diftong dibedakan atas diftong naik dan diftong
turun.
6. Bunyi
Nyaring dan Tidak Nyaring
a. Vokal
Bunyi dibedakan atas bunyi nyaring
(lantang) dan tidak nyaring pada waktu terdengar oleh telinga. Jadi pembedaan
bunyi berdasarkan derajat kenyaringan itu sebenarnya adalah tinjauan menurut
aspek auditoris. Derajat kenyaringan itu sendriri ditentukan oleh luas
sempitnya atau besar kecilnya resonansi pada waktu bunyi itu diucapkan. Makin
luas resonansi saluran bicara yang dipakai pada waktu membentuk bunyi bahasa
makin tinggi derajat kenyaringannya. Sebaliknya, semakin sempit ruang
resonansinya makin rendah derajat kenyaringannya. Diantara vokal-vokal maka
vokal yang paling tinggi justru derajat kenyaringan (kalantangan,
sonorotas)-nya paling rendah. Karena ruang resonansinya pada waktu diucapkan
paling sempit jika dibandingkan dengan muka lain. Semakin kebawah derajat
kenyaringan untuk vokal itu berturut-turut dari yang paling rendah sampai yang
paling tinggi ialah : vokal tertutup, vokal semi tertutup (semi terbuka), vokal
terbuka.
b. Konsonan
Dibandingkan dengan vokal,
bunyi-bunyi konsonan karena terbentuknya disertai dengan hambatan alat bicara
pada saluran bicara sebagian ruang resonansi, maka derajat kenyaringannya lebih
rendah. Konsonan letup tak bersuara adalah yang paling rendah sedangkan yang
paling tinggi adalah konsonan geletar. Derajat kenyaringan untuk konsonan dari
yang paling rendah sampai yang paling tinggi berturut-turut adalah sebagai
berikut: konsonan letup tak bersuara, geseran tak bersuara, letup bersuara,
geseran bersuara, nasal, sampingan, dan geletar.
7. Bunyi dengan
Arus Udara Egresif dan Bunyi dengan Arus In-gresif
Arah arus
udara dalam pembentukan bunyi bahasa dapat dibedakan atas egresif dan
in-gresif. Dalam kebanyakan bunyi bahasa, pembentukan bunyi itu dilaksanakan
dengan arus udara keuar dari paru-paru, arus udara demikian disebut egresif.
Namun, dalam bahasa-bahasa tertentu dapat juga bunyi itu terbentuk dengan arah
udara masuk kedalam paru-paru, jika demikian arah udara itu disebut in-gresif.
Arus udara egresif dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu egrsif pulmonik dan egresif
glotalik. Begitu juga arus udara in-gresif dapatdibagi menjadi dua yaitu,
in-gresif glotalik dan in-gresif velarik.
a. Egresif pulmonik adalah bunyi yang
terbentuk dengan arus udara egresif (keluar) dengan mekanisme pulmonik.
Mekanisme udara pulmonik ialah udara dari paru-paru sebagai sumber utamanya
dihembuskan keluar dengan cara mengecilkan ruangan paru-paru, otot perut dan
rongga dada.
b. Egresif glotalik adalah bunyi yang
terbentuk dengan arus udara egresif (keluar) dengan mekanisme glotalik.
Mekanisme glotalik terjadi dengan cara merapatkan pita-pita suara sehingga
glotis dalam keadaan tertutup rapat sekali.
c. Ingresif glotalik adalah bunyi
bahasa yang terbentuk dengan arus udara ingresif (masuk) dengan mekanisme
glotalik. Bunyi dengan arus udara ingresif mekanisme glotalik ini mungkin
secara sempurna prosesnya sama dengan egresif glotalik diatas. Jadi, merapatkan
pita-pita suara sehingga glotis tertutup rapat sekali.Hanya bersama-sama dengan
itu rongga pangkal tenggorok yang disempitkan itu diturunkan tidak dinaikan,
kemudian udara masuk.
d. Ingresif velarik adalah bunyi bahasa
yang terbentuk dengan arus udara ingresif (masuk) dengan mekanisme
velarik.mekanisme udara velarik terjadi dengan menaikkan pangkal lidah
ditempelkan pada langit-langit lunak. Bersama-sama dengan itu kedua bibir
ditutup rapat kemudian ujung lidah dan kedua sisi lidah merapat pada gigi atau
gusi dalam itu dilepaskan turun serta dikebelakangkan, bibir dibuka sehingga
ada kerenggangan ruangan udara pada rongga mulut. Dengan demikian memungkinkan
udara luar untuk mesuk.
H. Alat Ucap
Dalam fonetik artikulatoris hal pertama yang harus
dibacarakan adalah alat ucap manusia untuk menghasilkan bunyi bahasa.
Sebetulnya alat yang digunakan untuk menghasilkan bunyi bahasa ini mempunyai
fungsi utama lain yang bersifat biologis. Misalnya, paru – paru untuk bernafas,
lidah untuk mengecap, dan gigi untuk mengunyah. Namun, secara kebetulan alat –
alat itu diinginkan juga untuk berbicara. Kita perlu mengenal nama – nama alat
– alat itu untuk bisa memahami bagaiamana bunyi bahasa itu diproduksi; dan nama
– nama bunyi itu pun diambil dari nama – nama alat ucap itu. Untuk mengenal
alat – alat ucap itu, perhatikan bagan berikut, dan perhatikan
- Paru - paru
- Batang tenggorokan (trachea)
- Pangkal tenggorokan (larynx)
- Pita suara (vokal
cord)
- Krikoid (cricoid)
- Tiroid (thyroid)
atau lekun
- Aritenoid (arythenoid)
- Dinding rongga kerongkongan (wall of
pharynx)
- Epiglotis (epiglottis)
- Akar lidah (root of tongue)
- Pangkal lidah (back of the
tongue, dorsum)
- Tengan lidah (middle of the tongue, medium)
- Daun lidah (blade of the tongue, laminum)
- Ujung lidah (tip of the tongue, apex)
- Anak tekak (uvula)
- Langit – langit linak (soft palate, velum)
- Langit – langit keras (hard palate,
palatum)
- Gusi, lengkung kaki gigi (alveolum)
- Gigi atas (upper
teeth, dentum)
- Gigi bawah (lower teeth, dentum)
- Bibir atas (upper lip,
labium)
- Bibir bawah (lower lip, labium)
- Mulut (mouth)
- Rongga mulut (aral cavity)
- Rongga hidung (nasal cavity)
PENGARUH BUNYI, TRANSKRIPSI DAN
TRANSLITERASI
A.
Pengaruh-mempengaruhi Bunyi
Dalam hal pengaruh-mempengaruhi bunyi dapat ditijau dari dua segi, yaitu
akibat dari pengaruh- mempengaruhi bunyi itu dan tempat artikulasi yang manakah
yang mempengaruhi.Akibat dari pengaruh-mempengaruhibunyi disebut proses
asimilasi. Sedangkan tempat artikulasi yang mana yang mempengaruhi disebut
artikulasi penyerta (ko-artikulasi sekunder).
1) Proses
Asimilasi
Proses asimilasi di sini terbatas pada asimilasi fonetis saja, yaitu
pengaruh-mempengaruhi bunyi tanpa mengubah identitas fonem. Menurut arahnya,
asimilasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Asimilasi progresif
Asimilasi progresif terjadi bila
arah pengaruh bunyi itu ke depan. Seperti
perubahan bunyi [t] yang biasanya dalam bahasa Indonesia dan Jawa diucapkan
secara apiko-dental, tetapi dalam kata stasiun, letup [t] itu
diucapkan secara lamino-alveolar. Perubahan letup apiko-dental [t] menjadi
letup lamino-alveolar [t], karena pengaruh secara progresif dari bunyi geseran
lamino-alveolar [s].
b. Asimilasi regresif
Asimilasi regresif terjadi bila
arah pengaruh bunyi itu ke belakang. Seperti
perubahan bunyi [n] yang biasanya dalam bahasa Indonesia dan Jawa diucapkan
secara apiko-alveolar, tetapi dalam kata pandan, nasal sebelum
[ḍ] itu diucapkan secara apiko-palatal. Perubahan nasal ] karena pengaruh
secara*apiko-alveolar [n] menjadi nasal apiko-palatal [n regresif dari bunyi letup
palatal [ḍ]. Dengan demikian tulisan fonetis untuk pandan dalam
bahasa Indonesia ialah [panḍan] dan dalam bahasa Jawa ialah [pandhan].
2) Artikulasi Penyerta
Bunyi [k] dalam kata kucing (dalam bahasa Indonesia /Jawa)
dengan [k] dalam kata kijang (bahasa Indonesia) atau kidang
(bahasa Jawa) berbeda; walaupun menurut biasanya atau menurut artikulasi
primernya sama, yaitu merupakan bunyi dorso-velar yang dibentuk dengan
artikulasi pangkal lidah dan langit-langit lunak. Perbedaan itu disebabkan oleh
adanya artikulasi penyerta (ko-artikulasi atau artikulasi sekunder) bunyi vokal
yang langsung mengikutinya (cf. Bloch & George, 1942:29; Samsuri,
1978:119).
Berdasarkan tempat artikulasinya,
maka proses pengaruh bunyi karena artikulasi penyerta dapat dibagi menjadi:
1) Labialisasi
Labialisasi adalah pembulatan
bibir pada artikulasi primer, sehingga
terdengar bunyi [w] pada bunyi utama tersebut. Kecuali bunyi labial dapat
disertai labialisasi. Bunyi [t] dalam kata tujuan (dalam bahasa
Indonesia atau Jawa Misalnya, terdengar sebagai [w] [tw] dilabialisasi).
2) Retrofleksi
Retrofleksi adalah penarikan
ujung lidah ke belakang pada artikulasi primer, sehingga terdengar bunyi [r] pada bunyi utamanya. Kecuali apikal, bunyi
dapat disertai retrofleksi. Misalnya [k] diretrofleksi dalam kata kerdus.
3) Palatalisasi
Palatalisasi adalah pengangkatan
daun lidah ke arah langit-langit keras pada artikulasi primer. Kecuali bunyi palatal dapat disertai palatalisasi. Bunyi [p] dalam
kata piara (bahasa Indonesia/Jawa) misalnya, terdengar sebagai
[py] [p] dipalatalisasi.
4) velarisasi
Velarisasi adalah pengangkatan
pangkal lidah ke arah langit-langit lunak pada aretikulasi primer. Selain bunyi
velar bunyi-bunyi dapat divelarisasi. Bunyi [m] dalam kata makhluk
(bahasa Indonesia) misalnya, terdengar sebagai [mx] [m] divelarisasi.
5)
Glotalisasi
Glotalisasi adalah proses
penyerta hambatan pada (glotis tertutup rapat) sewaktu artikulasi primer
diucapkan. Selain bunyi glotal dapat disertai glotalisasi. Vokal pada awal kata
dalam bahasa Indonesia dan Jawa sering diglotalisasikan. Misalnya, dalam bahasa
Indonesia kata akan diucapkan [?akan] dan [?obat].
PEMBAHASAN
A. FONOLOGI
Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan
runtutan bunyi-bunyi bahasa disebut fonologi, yang secara etimologi
terbentuk dari kata fon yaitu bunyi dan logi yaitu ilmu. Menurut hierarki
satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi fonetik
dan fonemik. Secara umum fonetik
biasa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa
tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai
pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari
bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna.
Untuk lebih
jelasnya kalau kita perhatikan baik-baik ternyata bunyi [i] yang terdapat pada
kata-kata [intan], [angin], dan [batik] adalah tidak sama. Begitu juga bunyi
[p] pada kata inggris , , dan , juga tidak sama. Ketidaksamaan bunyi [i] dan
bunyi [p] pada deretan kata-kata diatas itulah sebagai salah satu contoh objek
atau sasaran studi fonetik.Dalam kajiannya fonetik, akan berusaha
mendeskripsikan perbedaan bunyi-bunyi itu serta menjelaskan sebab-sebabnya.
Sebaliknya, perbedaan bunyi [p] dan [b] yang terdapat misalnya pada kata [paru]
dan [baru] adalah menjadi contoh sasaran studi fonemik, sebab perbedaan bunyi
[p] dan [b] itu menyebabkan berbedanya makna kata [paru] dan [baru] itu.
1. Fonetik
Fonetik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari
bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi
sebagai pembeda makna atau tidak. Kemudian menurut urutan proses terjadinya
bunyi bahasa itu, dibedakan
adanya tiga jenis fonetik, yaitu fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan
fonetik auditoris.
Fonetik
artikulatoris disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis, mempelajari
bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam mengahasilkan bunyi
bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan. Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai
peristiwa fisis atau fenomena alam. Sedangkan fonetik auditoris mempelajari bagaimana
mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita. Dari ketiga
jenis fonetik ini yang paling berurusan dengan ilmu linguistik adalah fonetik
artikulatoris sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana
bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik
akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik auditoris lebih
berkenaan dengan bidang kedokteran.
2. Fonemik
Identitas
fonem sebagai idebtitas pembeda. Dasar bukti identitas fonem adalah apa yang
dapat kita sebut “fungsi pembeda” sebagai sifat khas fonem itu. Seperti contoh
tentang rupa dan lupa. Satu-satunya perbedaan diantara kedua kata
itu ialah menyangkut bunyi pertama, (r) dan (l). Oleh karena semua yang lain
dalam pasangan kedua kata ini adalah sama, maka pasangan tersebut disebut
“pasangan minimal” : perbedaan di dalam pasangan itu adalah “minimal”. Dengan
perkataan lain, perbedaan antara l dan r adalah apa yang membedakan dari sudut
analisis bunyi rupa dan lupa. Maka dari itu, l dan r dalam bahasa Indonesia
merupakan fonem-fonem yang berbeda identitasnya. Objek penelitian fonemik
adalah fonem yakni bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna
kata.
Untuk
mengetahui apakah sebuah bunyi fonem atau bukan, kita harus mencari sebuah
satuan bahasa, biasanya sebuah kata, yang mengandung bunyi tersebut, lalu
membandingkannya dengan satuan bahasa lain yang mirip dengan satuan bahasa yang
pertama. Kalau ternyata kedua satuan bahasa itu berbeda maknanya, maka berarti
bunyi tersebut adalah sebuah fonem, karena dia bisa atau berfungsi membedakan
makna kedua satuan bahasa itu.
Fonem itu berjenis-jenis. John Lyons (1968), Pater
Ladefoged (1975), Gleason (1958) mengatakan bahwa fonem setiap bahasa dapat
dibagi atas :
- Fonem segmental adalah fonem yang dapat dianalisis keberadaanya. Fonem segmental dapat dibagi atas vokal dan konsonan.
- Fonem suprasegmental adalah fonem yang keberadaannya harus bersama-sama fonem segmental.
B. MORFOLOGI
1.
Pengertian morfologi
Morfologi
adalah bagian linguistik yang mempelajari morfem. Morfologi
mempelajari dan menganalisis struktur, bentuk, klasifikasi kata-kata. Dalam linguistic bahasa Arab morfologi ini adalah tashrif yaitu perubahan
satu bentuk (asal) kata menjadi bermacam-macam bentukan untuk mendapatkan makna
yang berbeda, yang tanpa perubahan ini, makna yang berbeda itu akan
terlahirkan.
Dalam pembahasan
mengenai fonologi, kita memahami bahwa fonem adalah kesatuan bunyi terkecil
yang membedakan arti, seperti pada pasangan mata-mati, kedua bunyi /a/
dan /i/ adalah dua fonem yang membedakan arti. Sekarang kalau kata mati itu
dirubah menjadi kematian atau mati- matian maka dua kata
terakhir ini adalah bentukan baru yaitu dengan menambahkan ke dan an
dan pengulangan mati ditambah an. Dua kata baru ini mempunyai
arti yang berbeda dari makna kata asal mati. Perubahan-perubahan bentuk
inilah yang dipelajari morfologi (morphe = form = bentuk). Karena itu
ada yang memberi definisi morfem sebagai satu satuan bentuk terkecil
yang mempunyai arti. Morfologi ini bukan hanya mencakup studi sinkronik (morphemic),
tapi juga sejarah dan perkembangan dan pembentukan kata (historial
morphology).
2.
Identifikasi morfem
Untuk menentukan sebuah satuan
bentuk adalah morfem atau bukan, kita harus membandingkan bentuk tersebut
didalam kehadirannya dengan bentuk-bentuk lain. Kalau bentuk tersebut ternyata
bisa hadir secara berulang-ulang dengan bentuk lain maka bentuk tersebut adalah
sebuah morfem. Sebagai contoh (1) : Kedua, ketiga, kelima, ketujuh, dsb.
Ternyata juga semua bentuk ke pada contoh (1)
diatas dapat disegmentasikan sebagai satuan tersendiri dan yang mempunyai makna
yang sama, yaitu menanyakan tingkat atau derajat. Dengan demikian bentuk ke
pada contoh diatas, karena merupakan bentuk terkecil yang berulang-ulang dan
mempunyai makna yang sama, bisa disebut sebagai sebuah morfem. Sekarang perhatikan
bentuk ke pada contoh (2) berikut : kepasar, kekampus, kedapur,
dsb.
Ternyata juga bentuk ke pada contoh
(2) dapat disegmentasikan sebagai satuan tersendiri dan juga mempunyai arti
yang sama, yaitu menyatakan arah atau tujuan. Dengan demikian bentuk ke
pada contoh diatas juga adalah morfem.
Dari contoh
(1) dan (2) keduanya merupakan morfem yang berbeda, meskipun bentuknya sama.
Jadi kesamaan arti dan kesamaan bentuk merupakan cirri atau identitas sebuah
morfem.
Sekarang
perhatikan contoh (3) yang juga terdapat pada contoh sebelumnya, kemudian
bandingkan dengan bentuk-bentuk lain yang ada pada contoh (3) : meninggalkan,
ditinggal, tertinggal, peninggalan, dsb.
Dari contoh
diatas ternyata ada bentuk yang sama, yang dapat disegmentasikan dari bagian
unsur-unsur lainnya. Bagian yang sama itu adalah bentuk tinggal atau ninggal
(tentang perubahan bunyi t- menjadi bunyi n-). Maka, disini pun
bentuk tinggal adalah sebuah morfem, karena bentuknya sama dan maknanya
juga sama.
Untuk menentukan sebuah bentuk adalah morfem
atau bukan, kita memang harus mengetahui atau mengenal maknanya. Perhatikan
contoh (4) : menelantarkan, telantar, lantaran. Dari contoh tersebut,
meskipun bentuk lantar terdapat berulang-ulang, tapi bentuk lantar itu
bukanlah sebuah morfem, karena tidak ada maknanya. Lalu, ternyata kalau bentuk menelantarkan
memang punya hubungan dengan terlantar, tetapi tidak punya hubungan
dengan lantaran.
3.
Morfem, Morf dan Alomorf
Seperti
halnya dengan bunyi fonetis semata-mata, yang dilambangkan dengan mengapitnya
diantara kurung persegi, dan dengan fonem- fonem yang diapit diantara garis
kanan, maka morfemmorfem-morfem lazim dilambangkan dengan mengapitnya diantara
kurung kurawal. Misalnya, kata Inggris comfort dilambangkan sebagai { comfort
}, comfortable sebagai { comfort }+ {-able}, uncomfortable sebagai
{comfort}+{-able} dulu, baru {un-}+ {comfortable}, atau (dalam satu rumus)
{{un-}{{comfort}{-able}}} (namun rumus ”ganda” seperti itu hanya mungkin bila
semua morfem adalah morfem segmental).
Dalam
analisis struktur-struktur morfemis, apa yang diapit diantara kurung kurawal
itu disebut (lambang) “morfem”. Kesulitannya (yang deskriptif) dengan
pelambangan seperti itu adalah bahwa tidak semua morfem berupa segmental. Namun
dapat saja memerlukan kata jamak Inggris feet sebaga{foot}+ (katakana) {jamak},
atau jamak sheep sebagai {sheep} +{Ǿ}. Pelambangan seperti “{jamak}” itu sudah
menunjukan bahwa morfem itu merupakan suatu satuan yang abstrak : dapat berupa
segmental (utuh atau terbagi) dapat berupa “nol”, dapat juga berupa nada
tertentu.
Berbeda dengan
morfem itu, almorf-almorfnya adalah jauh lebih konkret, meskipun tetap tidak
mutlak perlu berupa segmental. Akan tetapi demi perian yang mudah kita sering
membutuhkan suatu bentuk yang kelihatannya cukup konkret. Bentuk konkret yang
demikian disebut “morf”.
Jadi,
alomorf adalah perwujudan konkret (didalam pertuturan) dari sebuah morfem.
Setiap morfem tentu mempunyai alomorf, entah satu, entah dua atau juga enam
buah. Atau bisa juga dikatakan morf dan alomorf adalah dua buah nama untuk
sebuah bentuk yang sama. Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum
diketahui statusnya, sedangkan alomorf adalah nama untuk bentuk tersebut kalau
sudah diketahui status morfemnya.
4.
Klasifikasi morferm
Morfem-morfem dalam setiap bahasa dapat
diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria. Antara lain berdasarkan
kebebasannya, keutuhannya,maknanya, dsb [6]
a.
Morfem bebas dan morfem terikat
Morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul
dalam pertuturan. Contoh (dalam bahasa Indonesia) : pulang, makan, dan bagus adalah termasuk
morfem bebas.
Morfem terikat adalah morfem
yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam pertuturan. Contohnya adalah semua afiks dalam bahasa Indonesia.
b.
Morfem utuh dan morfem terbagi
Perbedaan morfem
utuh dan morfem terbagi berdasarkan bentuk formal yang dimiliki
morfem tersebut : apakah merupakan satu kesatuan yang utuh atau merupakan dua
bagian yang terpisah atau terbagi, karena disisipi morfem lain. Contoh morfem
utuh : (termasuk morfem dasar) = {meja}, {kursi}, {kecil}, {laut}, dan
{pinsil}, (termasuk morfem terikat) = {ter-},{ber-},{henti},dsb.
Sedangkan
contoh morfem terbagi (adalah sebuah morfem yang terdiri dari dari dua
buah bagian yang terpisah. Umpamanya pada kata Indonesia kesatuan terdapat
satu morfem utuh, yaitu {satu} dan satu morfem terbagi, yakni {ke-/-an}.
Dalam bahasa Arab, dan juga bahasa Ibrani, semua morfem akar untuk verba adalah
morfem terbagi, yang terdiri atas tiga buah konsonan yang dipisahkan oleh tiga
buah vocal, yang merupakan morfem terikat yang terbagi pula. Misalnya morfem
akar terbagi {k,t,b} ‘tulis’ merupakan dasar untuk kata-kata : kataba (ia
laki-laki telah menulis), katabat (ia perempuan telah menulis,), maktabun
(perpustakaan).
c.
Morfem segmental dan morfem suprasegmental
Perbedaan morfem
segmental dan morfem suprasegmental berdasarkan jenis fonem yang membentuknya.
Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental,
seperti morfem {lihat},{lah},{sikat}dan {ber}. Jadi, semua morfem yang berwujud
bunyi adalah morfem segmental. Sedangkan morfem suprasegmental adalah
morfem yang dibentuk oleh , dsb. miunsur-unsur suprasegmental, seperti tekanan,
nada, durasi, dsb.
d.
Morfem beralomorf zero
Dalam
linguistik deskriptif ada konsep mengenai morfem beralomorf zero tau nol
(lambangnya berupa Ǿ), yaitu morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud
bunyi segmental maupun berupa prosodi (unsure suprasegmental), melainkan berupa
“kekosongan”
e.
Morfem bermakna leksikal dan morfem tak bermakna leksikal
Perbedaan
lain yang biasa dilakukan orang adalah dikotomi adanya morfem bermakna leksikal
dan morfem tidak bermakna leksikal. Yang dimaksud dengan morfem bermakna
leksikal adalah morfem-morfem yang secara inheren telah memiliki makna pada
dirinya sendiri, tanpa perlu berproses dulu dengan morfem lain. Seperti :
{kuda},{pergi},{lari},{merah}. Sebaliknya morfem yang tidak bermakna leksikal
tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri, akan mempunyai makna jika
digabung dengan morfem lain. Seperti : {ber-},{me-},dan {ter-}.
5.
Jenis Morfem [7]
Morfem yang dileburi morfem yang lain kita sebut
“morfem dasar”, dan yang dileburkan itu berupa “imbuhan” atau “klitika” atau
bentuk dasar yang lain (dalam pemajemukan) atau yang sama (dalam reduplikasi).
- Morfem pangkal adalah morfem dasar yang bebas, contohnya: do dalam undo hak dalam berhak.
- Morfem akar adalah morfem dasar yang berbentuk terikat. Agar menjadi bentuk bebas, akan harus mengalami pengimbuhan.
- Morfem pradasar adalah bentuk yang membutuhkan pengimbuhan atau pengklitikan atau pemajemukan untuk menjadi bentuk bebas.
C. SINTAKSIS
1. Pengertian
Sintaksis
Kata sintaksis berasaldari kata Yunani (sun = ‘dengan’
+ tattein ‘menempatkan’. Jadi kata sintaksis secara etimologis berarti
menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau
kalimat.[8] Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antarkata
dalam tuturan[9]. Sama halnya dengan morfologi, akan tetapi morfologi
menyangkut struktur gramatikal di dalam kata.Unsur bahasa yang termasuk di
dalam sintaksis adalah frase, kalusa,dan kalimat. Tuturan dalam hal ini
menyangkut apa yang dituturkan orang dalam bentuk kalimat.
Ramlan (1981:1) mengatakan: “Sintaksis ialah bagian
atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat,
klausa, dan frase .”.
2. Kata
sebagai Satuan Sintaksis
Dalam tataran
sintaksis kata merupakan satuan terkecil, yang secara hierarkial menjadi
komponen pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar yaitu frase. Maka di sini,
kata, hanya dibicarakan sebgai satuan terkecil dalam sintaksis, yaitu dalam
hubungannya dengan unsur-unsur pembentuk satuan yang lebih besar, yaitu frase,
klausa, dan kalimat Dalam pembicaraan kata sebagai pengisi satuan
sintaksis, pertama-tama harus kita bedakan dulu adanya dua macam kata, yaitu
yang disebut kata penuh (fullword) dan kata tugas (funcionword). Yang
merupakan kata penuh adalah kata-kata yang termasuk kategori nomina, ajektifa,
adverbia, dan numeralia. Sedangkan yang termasuk kata tugas adalah kata-kata
yang yang berkategori preposisi dan konjungsi.[10]
3. Frase
Frase lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi satah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat.
Frase tidak memiliki makna baru, melainkan makna
sintaktik atau makna gramatikal bedanya dengan kata majemuk yaitu kata majemuk
sebagai komposisi yang memiliki makna baru atau memiliki satu makna.
Jenis Fase:
1. Frase eksosentrik adalah frase yang komponen
komponennya tidak mempunyai perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya.
Misalnya, frase di pasar, yang terdiri dari komponen di dan komponen pasar.
Frase eksosentirk biasanya dibedakan atas frase eksosentrik yang direktif dan
frase eksosentrik yang nondirektif.
2. Frase endosentrik adalah frase yang salah satu
unsurnya atau komponennya memiliki perilaku sintaksias yang sama dengan
keseluruhannya. Misalnya, sedang komponen keduanya yaitu membaca dapat menggantikan
kedudukan frase tersebut.
3. Frase Koordinatif
Frase koordinatif adalah frase yang komponen
pembentuknya terdiri dari dua komponen atau lebih yang sama dan sederajat dan
secara potensial dapat dihubungkan oleh kunjungsi koordinatif.
4. Frase Apositif
Frase apositif adalah frase koordinatif yang kedua k
komponenanya saling merujuk sesamanya, dan oleh karena itu urutan komponennya
dapat dipertukarkan.
4. Klausa
Klausa
adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif.
Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen, berupa kata atau frase, yang
berfungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, sebagai
objek, dan sebagai keterangan. Badudu (1976 : 10) mengatakan bahwa klausa
adalah “sebuah kalimat yang merupakan bagian daripada kalimat yang lebih
besar.”
Sebuah
konstruksi disebut kalimat kalau kepada konstruksi itu diberikan intonasi final
atau intonasi kalimat. Jadi, konstruksi nenek mandi baru dapat disebut kalimat
kalau kepadanya diberi intonasi final kalau belum maka masih berstatus
klausa.Tempat klausa adalah di dalam kalimat.
Berdasarkan
strukturnya dapat dibedakan adanya klausa bebas dan klausa terikat. Klausa
bebas dalah klausa yang mempunyai unsur-unsur lengkap, sekurang-kurangnya
mempunyai subyek dan predikat, dan karena itu mempunyai potensi untuk menjadi
kalimat mayor. Klausa terikat memiliki struktur yang tidak lengkap.
Berdasarkan
kategori unsur segmental yang menjadi predikatnya dapat dibedakan adanya klausa
verbal, klausa nominal, klausa ajektival, klausa adverbial dan klausa
preposisional. Dengan adanya berbagai tipe verba, maka dikenal adanya klausa
transitif, klausa intransitif, klausa refleksif dan klausa resprokal.
Klausa
ajektival adalah klausa yang predikatnya berkategori ajektiva, baik berupa
kata maupun frase. Klausa adverbial adalah klausa yang predikatnya berupa
adverbial. Klausa preposisional adalah klausa yang predikatnya berupa frase
berkategori.
Klausa
numeral adalah klausa yang predikatnya berupa kata atau frase numerila. Klausa
berupasat adalah klausa yang subjeknya terikat didalam predikatnya, meskipun di
tempat lain ada nomina atau frase nomina yang juga berlaku sebagai subjek.
5. Kalimat
Ramlan
(1981:6) mengatakan : “kalimat adalah satuan gramatik yang dibatasi adanya jeda
panjang yang disertai nada akhir turun atau naik”. Kalimat merupakan satuan
atau deretan kata-kata yang memiliki intonasi tertentu sebagai pemarkah
keseluruhannya dan secara ortografi biasanya diakhiri tanda titik atau tanda
akhir lain yang sesuai.
Kalimat adalah susunan kata-kata yang teratur yang
berisi pikiran yang lengkap. Dalam kaitannya dengan satuan-satuan sintaksis
yang lebih kecil (kata, frase, dan klausa) kalimat adalah satuan sintaksis yang
disusun dari konstituen dasar yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan
konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final. Intonasi final
yang ada yang memberi ciri kalimat ada tiga buah, yaitu intonasi deklaratif,
intonasi interogratif (?) dan intonasi seru (!)
Jenis
kalimat dapat dibedakan berdasarkan berbagai, kriteria atau sudut
pandang. Kalimat inti dan Kalimat Non Inti Kalimat inti atau disebut
kalimat dasar, adalah kalimat yang dibentuk dari klausa inti yang lengkap
bersifat deklaratif, aktif, atau netral, dan afirmarif. Di dalam praktek
berbahasa, lebih banyak digunakan kalimat non inti daripada kalimat inti.
1) Kalimat Tunggal dan Kalimat Majemuk
Kalau
klausanya hanya satu, maka kalimat tersebut disebut kalimat tunggal. Kalau
klausa di dalam kalimat terdapat lebih dari satu, maka kalimat itu disebut
kalimat majemuk. Berdasarkan sifat hubungan klausa di dalam kalimat, dibedakan
adanya kalimat majemuk koordinatif (konjungsi koordinatif seperti dan, atau,
tetapi, lalu) kalimat majemuk subordinatif (kalau, ketika, meskipun, karena)
dan kalimat majemuk kompleks ( terdiri dari tiga klausa atau lebih, baik
dihubungkan secara koordinatif maupun subrodinatif atau disebut kalimat majemuk
campuran./
2) Kalimat Mayor dan Kalimat Minor
Kalau klausa
lengkap sekurang-kurangnya memiliki unsur subjek dan predikat, maka kalimat itu
disebut kalimat mayor. Kalau klausanya tidak lengkap, entah terdiri subjek
saja, predikat saja, ataukah keterangan saja, maka kalimat tersebut disebut
kalimat minor.
3) Kalimat Verbal dan Kalimat Non-Verbal
Kalimat
verbal adalah kalimat yang dibentuk dari klausa verbal, atau kalimat yang
predikatnya berupa kata atau frase yang berkategori verba. Sedangkan kalimat
nonverbal adalah kalimat yang predikatnya bukan frase atau frase verbal, bisa
nomina, ajektiva, adverbial, atau juga numeralia.
4) Kalimat Bebas dan Kalimat Terikat
Kalimat
bebas adalah kalimat yang mempunyai potensi untuk menjadi ujaran lengkap atau
dapat memulai sebuah paragraf atau wacana tanpa bantuan kalimat atau konteks
lain yang menjelaskannya. Sedangkan kalimat terikat adalah kalimat yang tidak
dapat berdiri sendiri sebagai ujaran lengkap, atau menjadi pembuka paragraf
atau wawancara tanpa bantuan konteks.
Dalam bahasa Indonesia intonasi tidak berlaku pada
tataran fonologi dan morfologi, melainkan hanya berlaku pada tataran sintaksis.
Intonasi merupakan ciri utama yang membedakan kalimat dari sebuah klausa.
Ciri-ciri intonasi berupa tekanan tempo dan nada.
6. Wacana
Wacana
adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan
gramatikal tertinggi atau terbesar. Persyaratan gramatikal dalam wacana akan
terpenuhi kalau dalam wacana itu sudah terbina kekhohesian maka akan
terciptalah erensian.
Alat-alat
gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif
antara lain : konjungsi, kedua menggunakan kata ganti dia, nya, mereka, ini,
dan itu sebagai rujukan anaforis, ketiga menggunakan elipsis.
Selain
dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif dan koherens dapat juga
dibuat dengan bantuan pelbagai aspek semantik.
Berbagai
jenis wacana sesuai dengan sudut pandang dari mana wacana itu dilihat.
Pertama-tama di lihat adanya wacana lisan dan wacana tulis berkenaan dengan
sarannya, yaitu bahasa lisan dan bahasa. Dilihat dari penggunaan bahasanya ada
wacana prosa dan wacana puisi.
Wacana
adalah satuan bahasa yang utuh dan lengkap, maksudnya adalah wacana ini satuan
”ide” atau ”pesan” yang disampaikan akan dapat dipahami pendengar atau pembaca
tanpa keraguan, atau tanpa merasa adanya kekurangan informasi dari ide atau
pesan yang tertuang dalam wacana itu.
SIMPULAN
Ruang lingkup sistem
kebahasaan yang mengikat setiap bahasa relatif sama yaitu meliputi sistem
fonologi (tata bunyi), morfologi (pembentukan kata), sintaksis (pembentukan
kalmat). Fonologi merupakan bidang linguistik yang mempelajari,
menganalisis, dan membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa. Menurut hierarki
satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi fonetik
dan fonemik.
Morfologi mempelajari dan menganalisis struktur, bentuk, klasifikasi
kata-kata. Dalam kajian morfologi dikenal istilah morferm yang didalamnya
terdapat jenis dan klasfikasi dari morferm itu sendiri.
Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan
antarkata dalam tuturan. Tuturan dalam hal ini menyangkut apa yang dituturkan
orang dalam bentuk kalimat atau wacana. Unsur bahasa yang termasuk di dalam
sintaksis adalah kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana.
KLASIFIKASI BUNYI BAHASA
1. Vokal,
konsonan, dan Semi-Vokal
Secara umum
bunyi bahasa dibedakan atas : vokal, konsonan, dan semi vokal. Pembedaannya
bedasarakan pada ada tidaknya hambatan (proses artikulasi) pada alat bicara.
a.
Bunyi disebut vokal apabila terjadinya tidak ada
hambatan (proses artikuliasi) pada alat bicara.
b. Bunyi disebut konsonan apabila terjadinya dibentuk dengan menghambat arus
udara pada sebagian alat bicara, jadi ada artikulasi.
c. Bunyi
semi-vokal adalah bunyi yang secara praktis termasuk konsonan tetapi karena
pada waktu diartikulasikan belum membentuk konsonan murni, maka bunyi-bunyi itu
disebut semi-vokal atau semi-konsonan.
2. Nasal dan
Oral
Bunyi bahasa
dapat dibedakan menjadi nasal (segau) dan oral. Pembedaan ini didasarkan pada
keluarnya atau disertainya udara melalui rongga hidung.
a. Apabila udara keluar atau disertai
keluarnya udara melalui rongga hidung, dengan cara menurunkan langit-langit
lunak beserta ujung anak tekaknya, maka bunyi itu disebut bunyi nasal atau
sengau.
b. Apabila langit-langit lunak beserta ujung anak tekak menaik menutupi
rongga hidung sehingga udara hanya melalui rongg mulut saja, maka bunyi yang
dihasilkan disebut bunyi oral.
3. Keras
(Fortes) dan Lunak (Lenes)
Bunyi bahasa
dibedakan atas bunyi keras (fortes) dan lunak (Lenes). Perbedaan ini
didasarakan pada ada tidaknya ketegangan kekuatan arus udara pada waktu bunyi
itu diartikulasikan. Bunyi bahasa disebut keras bila pada waktu
diartikulasiakan disertai ketegangan kekuatan arus udara. Jika tidak disertai
ketegangan kekuatan arus udara disebut bunyi lunak.
4. Bunyi
Panjang dan Pendek
Bunyi bahasa
dibedakan atas bunyi panjang dan pendek. Perbedaan ini didasarakan pada lamanya
bunyi itu diucapkan, atau lamanya bunyi itu diartikulasaikan.
5. Bunyi
Rangkap dan Tunggal
Bunhi
dibedakan atas bunyi rangkap (padu, ganda) dan tunggal.
a. Bunyi rangkap adalah bunyi yang
terdiri dari dua bunyi dan terdapat dalam suatu suku kata.
b. Jika terdapat dalam dua suku kata
yang berbeda bukan bunyi rangkap melainkan bunyi tunggal saja.
Bunyi
rangkap vokal disebut diftong, sedangkan bunyi tunggal vokal disebut monoftong.
Ciri diftong ialah keadaan posisi lidah dalam mengucapkan bunyi vokal yang satu
dengan yang lain salig berbeda. Diftong dibedakan atas diftong naik dan diftong
turun.
6. Bunyi
Nyaring dan Tidak Nyaring
a. Vokal
Bunyi dibedakan atas bunyi nyaring
(lantang) dan tidak nyaring pada waktu terdengar oleh telinga. Jadi pembedaan
bunyi berdasarkan derajat kenyaringan itu sebenarnya adalah tinjauan menurut
aspek auditoris. Derajat kenyaringan itu sendriri ditentukan oleh luas
sempitnya atau besar kecilnya resonansi pada waktu bunyi itu diucapkan. Makin
luas resonansi saluran bicara yang dipakai pada waktu membentuk bunyi bahasa
makin tinggi derajat kenyaringannya. Sebaliknya, semakin sempit ruang
resonansinya makin rendah derajat kenyaringannya. Diantara vokal-vokal maka
vokal yang paling tinggi justru derajat kenyaringan (kalantangan,
sonorotas)-nya paling rendah. Karena ruang resonansinya pada waktu diucapkan
paling sempit jika dibandingkan dengan muka lain. Semakin kebawah derajat
kenyaringan untuk vokal itu berturut-turut dari yang paling rendah sampai yang
paling tinggi ialah : vokal tertutup, vokal semi tertutup (semi terbuka), vokal
terbuka.
b. Konsonan
Dibandingkan dengan vokal,
bunyi-bunyi konsonan karena terbentuknya disertai dengan hambatan alat bicara
pada saluran bicara sebagian ruang resonansi, maka derajat kenyaringannya lebih
rendah. Konsonan letup tak bersuara adalah yang paling rendah sedangkan yang
paling tinggi adalah konsonan geletar. Derajat kenyaringan untuk konsonan dari
yang paling rendah sampai yang paling tinggi berturut-turut adalah sebagai
berikut: konsonan letup tak bersuara, geseran tak bersuara, letup bersuara,
geseran bersuara, nasal, sampingan, dan geletar.
7. Bunyi dengan
Arus Udara Egresif dan Bunyi dengan Arus In-gresif
Arah arus
udara dalam pembentukan bunyi bahasa dapat dibedakan atas egresif dan
in-gresif. Dalam kebanyakan bunyi bahasa, pembentukan bunyi itu dilaksanakan
dengan arus udara keuar dari paru-paru, arus udara demikian disebut egresif.
Namun, dalam bahasa-bahasa tertentu dapat juga bunyi itu terbentuk dengan arah
udara masuk kedalam paru-paru, jika demikian arah udara itu disebut in-gresif.
Arus udara egresif dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu egrsif pulmonik dan egresif
glotalik. Begitu juga arus udara in-gresif dapatdibagi menjadi dua yaitu,
in-gresif glotalik dan in-gresif velarik.
a. Egresif pulmonik adalah bunyi yang
terbentuk dengan arus udara egresif (keluar) dengan mekanisme pulmonik.
Mekanisme udara pulmonik ialah udara dari paru-paru sebagai sumber utamanya
dihembuskan keluar dengan cara mengecilkan ruangan paru-paru, otot perut dan
rongga dada.
b. Egresif glotalik adalah bunyi yang
terbentuk dengan arus udara egresif (keluar) dengan mekanisme glotalik.
Mekanisme glotalik terjadi dengan cara merapatkan pita-pita suara sehingga
glotis dalam keadaan tertutup rapat sekali.
c. Ingresif glotalik adalah bunyi
bahasa yang terbentuk dengan arus udara ingresif (masuk) dengan mekanisme
glotalik. Bunyi dengan arus udara ingresif mekanisme glotalik ini mungkin
secara sempurna prosesnya sama dengan egresif glotalik diatas. Jadi, merapatkan
pita-pita suara sehingga glotis tertutup rapat sekali.Hanya bersama-sama dengan
itu rongga pangkal tenggorok yang disempitkan itu diturunkan tidak dinaikan,
kemudian udara masuk.
d. Ingresif velarik adalah bunyi bahasa
yang terbentuk dengan arus udara ingresif (masuk) dengan mekanisme
velarik.mekanisme udara velarik terjadi dengan menaikkan pangkal lidah
ditempelkan pada langit-langit lunak. Bersama-sama dengan itu kedua bibir
ditutup rapat kemudian ujung lidah dan kedua sisi lidah merapat pada gigi atau
gusi dalam itu dilepaskan turun serta dikebelakangkan, bibir dibuka sehingga
ada kerenggangan ruangan udara pada rongga mulut. Dengan demikian memungkinkan
udara luar untuk mesuk.
H. Alat Ucap
Dalam fonetik artikulatoris hal pertama yang harus
dibacarakan adalah alat ucap manusia untuk menghasilkan bunyi bahasa.
Sebetulnya alat yang digunakan untuk menghasilkan bunyi bahasa ini mempunyai
fungsi utama lain yang bersifat biologis. Misalnya, paru – paru untuk bernafas,
lidah untuk mengecap, dan gigi untuk mengunyah. Namun, secara kebetulan alat –
alat itu diinginkan juga untuk berbicara. Kita perlu mengenal nama – nama alat
– alat itu untuk bisa memahami bagaiamana bunyi bahasa itu diproduksi; dan nama
– nama bunyi itu pun diambil dari nama – nama alat ucap itu. Untuk mengenal
alat – alat ucap itu, perhatikan bagan berikut, dan perhatikan
- Paru - paru
- Batang tenggorokan (trachea)
- Pangkal tenggorokan (larynx)
- Pita suara (vokal
cord)
- Krikoid (cricoid)
- Tiroid (thyroid)
atau lekun
- Aritenoid (arythenoid)
- Dinding rongga kerongkongan (wall of
pharynx)
- Epiglotis (epiglottis)
- Akar lidah (root of tongue)
- Pangkal lidah (back of the
tongue, dorsum)
- Tengan lidah (middle of the tongue, medium)
- Daun lidah (blade of the tongue, laminum)
- Ujung lidah (tip of the tongue, apex)
- Anak tekak (uvula)
- Langit – langit linak (soft palate, velum)
- Langit – langit keras (hard palate,
palatum)
- Gusi, lengkung kaki gigi (alveolum)
- Gigi atas (upper
teeth, dentum)
- Gigi bawah (lower teeth, dentum)
- Bibir atas (upper lip,
labium)
- Bibir bawah (lower lip, labium)
- Mulut (mouth)
- Rongga mulut (aral cavity)
- Rongga hidung (nasal cavity)
PENGARUH BUNYI, TRANSKRIPSI DAN
TRANSLITERASI
A.
Pengaruh-mempengaruhi Bunyi
Dalam hal pengaruh-mempengaruhi bunyi dapat ditijau dari dua segi, yaitu
akibat dari pengaruh- mempengaruhi bunyi itu dan tempat artikulasi yang manakah
yang mempengaruhi.Akibat dari pengaruh-mempengaruhibunyi disebut proses
asimilasi. Sedangkan tempat artikulasi yang mana yang mempengaruhi disebut
artikulasi penyerta (ko-artikulasi sekunder).
1) Proses
Asimilasi
Proses asimilasi di sini terbatas pada asimilasi fonetis saja, yaitu
pengaruh-mempengaruhi bunyi tanpa mengubah identitas fonem. Menurut arahnya,
asimilasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Asimilasi progresif
Asimilasi progresif terjadi bila
arah pengaruh bunyi itu ke depan. Seperti
perubahan bunyi [t] yang biasanya dalam bahasa Indonesia dan Jawa diucapkan
secara apiko-dental, tetapi dalam kata stasiun, letup [t] itu
diucapkan secara lamino-alveolar. Perubahan letup apiko-dental [t] menjadi
letup lamino-alveolar [t], karena pengaruh secara progresif dari bunyi geseran
lamino-alveolar [s].
b. Asimilasi regresif
Asimilasi regresif terjadi bila
arah pengaruh bunyi itu ke belakang. Seperti
perubahan bunyi [n] yang biasanya dalam bahasa Indonesia dan Jawa diucapkan
secara apiko-alveolar, tetapi dalam kata pandan, nasal sebelum
[ḍ] itu diucapkan secara apiko-palatal. Perubahan nasal ] karena pengaruh
secara*apiko-alveolar [n] menjadi nasal apiko-palatal [n regresif dari bunyi letup
palatal [ḍ]. Dengan demikian tulisan fonetis untuk pandan dalam
bahasa Indonesia ialah [panḍan] dan dalam bahasa Jawa ialah [pandhan].
2) Artikulasi Penyerta
Bunyi [k] dalam kata kucing (dalam bahasa Indonesia /Jawa)
dengan [k] dalam kata kijang (bahasa Indonesia) atau kidang
(bahasa Jawa) berbeda; walaupun menurut biasanya atau menurut artikulasi
primernya sama, yaitu merupakan bunyi dorso-velar yang dibentuk dengan
artikulasi pangkal lidah dan langit-langit lunak. Perbedaan itu disebabkan oleh
adanya artikulasi penyerta (ko-artikulasi atau artikulasi sekunder) bunyi vokal
yang langsung mengikutinya (cf. Bloch & George, 1942:29; Samsuri,
1978:119).
Berdasarkan tempat artikulasinya,
maka proses pengaruh bunyi karena artikulasi penyerta dapat dibagi menjadi:
1) Labialisasi
Labialisasi adalah pembulatan
bibir pada artikulasi primer, sehingga
terdengar bunyi [w] pada bunyi utama tersebut. Kecuali bunyi labial dapat
disertai labialisasi. Bunyi [t] dalam kata tujuan (dalam bahasa
Indonesia atau Jawa Misalnya, terdengar sebagai [w] [tw] dilabialisasi).
2) Retrofleksi
Retrofleksi adalah penarikan
ujung lidah ke belakang pada artikulasi primer, sehingga terdengar bunyi [r] pada bunyi utamanya. Kecuali apikal, bunyi
dapat disertai retrofleksi. Misalnya [k] diretrofleksi dalam kata kerdus.
3) Palatalisasi
Palatalisasi adalah pengangkatan
daun lidah ke arah langit-langit keras pada artikulasi primer. Kecuali bunyi palatal dapat disertai palatalisasi. Bunyi [p] dalam
kata piara (bahasa Indonesia/Jawa) misalnya, terdengar sebagai
[py] [p] dipalatalisasi.
4) velarisasi
Velarisasi adalah pengangkatan
pangkal lidah ke arah langit-langit lunak pada aretikulasi primer. Selain bunyi
velar bunyi-bunyi dapat divelarisasi. Bunyi [m] dalam kata makhluk
(bahasa Indonesia) misalnya, terdengar sebagai [mx] [m] divelarisasi.
5)
Glotalisasi
Glotalisasi adalah proses
penyerta hambatan pada (glotis tertutup rapat) sewaktu artikulasi primer
diucapkan. Selain bunyi glotal dapat disertai glotalisasi. Vokal pada awal kata
dalam bahasa Indonesia dan Jawa sering diglotalisasikan. Misalnya, dalam bahasa
Indonesia kata akan diucapkan [?akan] dan [?obat].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar