Selasa, 29 Desember 2015

PENJELASAN MENGENAI FONOLOGI




PEMBAHASAN


A.  FONOLOGI

            Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa disebut fonologi, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi dan logi yaitu ilmu. Menurut hierarki satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Secara umum fonetik biasa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna.

          Untuk lebih jelasnya kalau kita perhatikan baik-baik ternyata bunyi [i] yang terdapat pada kata-kata [intan], [angin], dan [batik] adalah tidak sama. Begitu juga bunyi [p] pada kata inggris , , dan , juga tidak sama. Ketidaksamaan bunyi [i] dan bunyi [p] pada deretan kata-kata diatas itulah sebagai salah satu contoh objek atau sasaran studi fonetik.Dalam kajiannya fonetik, akan berusaha mendeskripsikan perbedaan bunyi-bunyi itu serta menjelaskan sebab-sebabnya. Sebaliknya, perbedaan bunyi [p] dan [b] yang terdapat misalnya pada kata [paru] dan [baru] adalah menjadi contoh sasaran studi fonemik, sebab perbedaan bunyi [p] dan [b] itu menyebabkan berbedanya makna kata [paru] dan [baru] itu.

1.    Fonetik
Fonetik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Kemudian menurut urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu, dibedakan adanya tiga jenis fonetik, yaitu fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan fonetik auditoris.
Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam mengahasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan. Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam. Sedangkan fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita. Dari ketiga jenis fonetik ini yang paling berurusan dengan ilmu linguistik adalah fonetik artikulatoris sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik auditoris lebih berkenaan dengan bidang kedokteran.
2.    Fonemik  
Identitas fonem sebagai idebtitas pembeda. Dasar bukti identitas fonem adalah apa yang dapat kita sebut “fungsi pembeda” sebagai sifat khas fonem itu. Seperti contoh tentang rupa dan lupa. Satu-satunya perbedaan diantara kedua kata itu ialah menyangkut bunyi pertama, (r) dan (l). Oleh karena semua yang lain dalam pasangan kedua kata ini adalah sama, maka pasangan tersebut disebut “pasangan minimal” : perbedaan di dalam pasangan itu adalah “minimal”. Dengan perkataan lain, perbedaan antara l dan r adalah apa yang membedakan dari sudut analisis bunyi rupa dan lupa. Maka dari itu, l dan r dalam bahasa Indonesia merupakan fonem-fonem yang berbeda identitasnya. Objek penelitian fonemik adalah fonem yakni bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata.
Untuk mengetahui apakah sebuah bunyi fonem atau bukan, kita harus mencari sebuah satuan bahasa, biasanya sebuah kata, yang mengandung bunyi tersebut, lalu membandingkannya dengan satuan bahasa lain yang mirip dengan satuan bahasa yang pertama. Kalau ternyata kedua satuan bahasa itu berbeda maknanya, maka berarti bunyi tersebut adalah sebuah fonem, karena dia bisa atau berfungsi membedakan makna kedua satuan bahasa itu.
Fonem itu berjenis-jenis. John Lyons (1968), Pater Ladefoged (1975), Gleason (1958) mengatakan bahwa fonem setiap bahasa dapat dibagi atas :

  1. Fonem segmental adalah fonem yang dapat dianalisis keberadaanya. Fonem segmental dapat dibagi  atas vokal dan konsonan.
  2. Fonem suprasegmental adalah fonem yang keberadaannya harus bersama-sama fonem segmental.

B.  MORFOLOGI

1.      Pengertian morfologi
Morfologi adalah bagian linguistik yang mempelajari morfem. Morfologi mempelajari dan menganalisis struktur, bentuk, klasifikasi kata-kata. Dalam linguistic bahasa Arab morfologi ini adalah tashrif yaitu perubahan satu bentuk (asal) kata menjadi bermacam-macam bentukan untuk mendapatkan makna yang berbeda, yang tanpa perubahan ini, makna yang berbeda itu akan terlahirkan.
Dalam pembahasan mengenai fonologi, kita memahami bahwa fonem adalah kesatuan bunyi terkecil yang membedakan arti, seperti pada pasangan mata-mati, kedua bunyi /a/ dan /i/ adalah dua fonem yang membedakan arti. Sekarang kalau kata mati itu dirubah menjadi  kematian atau mati- matian maka dua kata terakhir ini adalah bentukan baru yaitu dengan menambahkan ke dan an dan pengulangan mati ditambah an. Dua kata baru ini mempunyai arti yang berbeda dari makna kata asal mati. Perubahan-perubahan bentuk inilah yang dipelajari morfologi (morphe = form = bentuk). Karena itu ada yang memberi definisi morfem sebagai satu satuan bentuk terkecil yang mempunyai arti. Morfologi ini bukan hanya mencakup studi sinkronik (morphemic), tapi juga sejarah dan perkembangan dan pembentukan kata (historial morphology).
2.      Identifikasi morfem
               Untuk menentukan sebuah satuan bentuk adalah morfem atau bukan, kita harus membandingkan bentuk tersebut didalam kehadirannya dengan bentuk-bentuk lain. Kalau bentuk tersebut ternyata bisa hadir secara berulang-ulang dengan bentuk lain maka bentuk tersebut adalah sebuah morfem. Sebagai contoh (1) : Kedua, ketiga, kelima, ketujuh, dsb.
Ternyata juga semua bentuk ke pada contoh (1) diatas dapat disegmentasikan sebagai satuan tersendiri dan yang mempunyai makna yang sama, yaitu menanyakan tingkat atau derajat. Dengan demikian bentuk ke pada contoh diatas, karena merupakan bentuk terkecil yang berulang-ulang dan mempunyai makna yang sama, bisa disebut sebagai sebuah morfem. Sekarang perhatikan bentuk ke pada contoh (2) berikut : kepasar, kekampus, kedapur, dsb.

           Ternyata juga bentuk ke pada contoh (2) dapat disegmentasikan sebagai satuan tersendiri dan juga mempunyai arti yang sama, yaitu menyatakan arah atau tujuan. Dengan demikian bentuk ke pada contoh diatas juga adalah morfem.
            Dari contoh (1) dan (2) keduanya merupakan morfem yang berbeda, meskipun bentuknya sama. Jadi kesamaan arti dan kesamaan bentuk merupakan cirri atau identitas sebuah morfem.

            Sekarang perhatikan contoh (3) yang juga terdapat pada contoh sebelumnya, kemudian bandingkan dengan bentuk-bentuk lain yang ada pada contoh (3) : meninggalkan, ditinggal, tertinggal, peninggalan, dsb.

            Dari contoh diatas ternyata ada bentuk yang sama, yang dapat disegmentasikan dari bagian unsur-unsur lainnya. Bagian yang sama itu adalah bentuk tinggal atau ninggal (tentang perubahan bunyi t- menjadi bunyi n-). Maka, disini pun bentuk tinggal adalah sebuah morfem, karena bentuknya sama dan maknanya juga sama.

            Untuk menentukan sebuah bentuk adalah morfem atau bukan, kita memang harus mengetahui atau mengenal maknanya. Perhatikan contoh (4) : menelantarkan, telantar, lantaran. Dari contoh tersebut, meskipun bentuk lantar terdapat berulang-ulang, tapi bentuk lantar itu bukanlah sebuah morfem, karena tidak ada maknanya. Lalu, ternyata kalau bentuk menelantarkan memang punya hubungan dengan terlantar, tetapi tidak punya hubungan dengan lantaran.
3.      Morfem, Morf dan Alomorf 

Seperti halnya dengan bunyi fonetis semata-mata, yang dilambangkan dengan mengapitnya diantara kurung persegi, dan dengan fonem- fonem yang diapit diantara garis kanan, maka morfemmorfem-morfem lazim dilambangkan dengan mengapitnya diantara kurung kurawal. Misalnya, kata Inggris comfort dilambangkan sebagai { comfort }, comfortable sebagai { comfort }+ {-able}, uncomfortable sebagai {comfort}+{-able} dulu, baru {un-}+ {comfortable}, atau (dalam satu rumus) {{un-}{{comfort}{-able}}} (namun rumus ”ganda” seperti itu hanya mungkin bila semua morfem adalah morfem segmental). 

Dalam analisis struktur-struktur morfemis, apa yang diapit diantara kurung kurawal itu disebut (lambang) “morfem”. Kesulitannya (yang deskriptif) dengan pelambangan seperti itu adalah bahwa tidak semua morfem berupa segmental. Namun dapat saja memerlukan kata jamak Inggris feet sebaga{foot}+ (katakana) {jamak}, atau jamak sheep sebagai {sheep} +{Ǿ}. Pelambangan seperti “{jamak}” itu sudah menunjukan bahwa morfem itu merupakan suatu satuan yang abstrak : dapat berupa segmental (utuh atau terbagi) dapat berupa “nol”, dapat juga berupa nada tertentu.

Berbeda dengan morfem itu, almorf-almorfnya adalah jauh lebih konkret, meskipun tetap tidak mutlak perlu berupa segmental. Akan tetapi demi perian yang mudah kita sering membutuhkan suatu bentuk yang kelihatannya cukup konkret. Bentuk konkret yang demikian disebut “morf”. 

Jadi, alomorf adalah perwujudan konkret (didalam pertuturan) dari sebuah morfem. Setiap morfem tentu mempunyai alomorf, entah satu, entah dua atau juga enam buah. Atau bisa juga dikatakan morf dan alomorf adalah dua buah nama untuk sebuah bentuk yang sama. Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya, sedangkan alomorf adalah nama untuk bentuk tersebut kalau sudah diketahui status morfemnya.

4.      Klasifikasi morferm

Morfem-morfem dalam setiap bahasa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria. Antara lain berdasarkan kebebasannya, keutuhannya,maknanya, dsb [6]

a.      Morfem bebas dan morfem terikat
Morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam pertuturan. Contoh (dalam bahasa Indonesia) : pulang, makan, dan bagus adalah termasuk morfem bebas.
Morfem terikat adalah morfem yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam pertuturan. Contohnya adalah semua afiks dalam bahasa Indonesia.
b.      Morfem utuh dan morfem terbagi
Perbedaan morfem utuh dan morfem terbagi berdasarkan bentuk formal yang dimiliki morfem tersebut : apakah merupakan satu kesatuan yang utuh atau merupakan dua bagian yang terpisah atau terbagi, karena disisipi morfem lain. Contoh morfem utuh : (termasuk morfem dasar) = {meja}, {kursi}, {kecil}, {laut}, dan {pinsil}, (termasuk morfem terikat) = {ter-},{ber-},{henti},dsb.
Sedangkan contoh morfem terbagi (adalah sebuah morfem yang terdiri dari dari dua buah bagian yang terpisah. Umpamanya pada kata Indonesia kesatuan terdapat satu morfem utuh, yaitu {satu} dan satu morfem terbagi, yakni {ke-/-an}. Dalam bahasa Arab, dan juga bahasa Ibrani, semua morfem akar untuk verba adalah morfem terbagi, yang terdiri atas tiga buah konsonan yang dipisahkan oleh tiga buah vocal, yang merupakan morfem terikat yang terbagi pula. Misalnya morfem akar terbagi {k,t,b} ‘tulis’ merupakan dasar untuk kata-kata : kataba (ia laki-laki telah menulis), katabat (ia perempuan telah menulis,), maktabun (perpustakaan).
c.       Morfem segmental dan morfem suprasegmental
Perbedaan morfem segmental dan morfem suprasegmental berdasarkan jenis fonem yang membentuknya. Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental, seperti morfem {lihat},{lah},{sikat}dan {ber}. Jadi, semua morfem yang berwujud bunyi adalah morfem segmental. Sedangkan morfem suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh , dsb. miunsur-unsur suprasegmental, seperti tekanan, nada, durasi, dsb.
d.     Morfem beralomorf zero
Dalam linguistik deskriptif ada konsep mengenai morfem beralomorf zero tau nol (lambangnya berupa Ǿ), yaitu morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud bunyi segmental maupun berupa prosodi (unsure suprasegmental), melainkan berupa “kekosongan”
e.      Morfem bermakna leksikal dan morfem tak bermakna leksikal
Perbedaan lain yang biasa dilakukan orang adalah dikotomi adanya morfem bermakna leksikal dan morfem tidak bermakna leksikal. Yang dimaksud dengan morfem bermakna leksikal adalah morfem-morfem yang secara inheren telah memiliki makna pada dirinya sendiri, tanpa perlu berproses dulu dengan morfem lain. Seperti : {kuda},{pergi},{lari},{merah}. Sebaliknya morfem yang tidak bermakna leksikal tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri, akan mempunyai makna jika digabung dengan morfem lain. Seperti : {ber-},{me-},dan {ter-}.
5.      Jenis Morfem [7]

Morfem yang dileburi morfem yang lain kita sebut “morfem dasar”, dan yang dileburkan itu berupa “imbuhan” atau “klitika” atau bentuk dasar yang lain (dalam pemajemukan) atau yang sama (dalam reduplikasi).
  • Morfem pangkal adalah morfem dasar yang bebas, contohnya: do dalam undo hak dalam berhak. 
  • Morfem akar adalah morfem dasar yang berbentuk terikat. Agar menjadi bentuk bebas, akan harus mengalami pengimbuhan. 
  • Morfem pradasar adalah bentuk yang membutuhkan pengimbuhan atau pengklitikan atau pemajemukan untuk menjadi bentuk bebas.

C.  SINTAKSIS
1.      Pengertian Sintaksis
          Kata sintaksis berasaldari kata Yunani (sun = ‘dengan’ + tattein ‘menempatkan’. Jadi kata sintaksis secara etimologis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat.[8] Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antarkata dalam tuturan[9]. Sama halnya dengan morfologi, akan tetapi morfologi menyangkut struktur gramatikal di dalam kata.Unsur bahasa yang termasuk di dalam sintaksis adalah frase, kalusa,dan kalimat. Tuturan dalam hal ini menyangkut apa yang dituturkan orang dalam bentuk kalimat.
Ramlan (1981:1) mengatakan: “Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase .”.

2.      Kata sebagai Satuan Sintaksis
          Dalam tataran sintaksis kata merupakan satuan terkecil, yang secara hierarkial menjadi komponen pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar yaitu frase. Maka di sini, kata, hanya dibicarakan sebgai satuan terkecil dalam sintaksis, yaitu dalam hubungannya dengan unsur-unsur pembentuk satuan yang lebih besar, yaitu frase, klausa, dan kalimat Dalam pembicaraan kata sebagai pengisi satuan sintaksis, pertama-tama harus kita bedakan dulu adanya dua macam kata, yaitu yang disebut kata penuh (fullword) dan kata tugas (funcionword). Yang merupakan kata penuh adalah kata-kata yang termasuk kategori nomina, ajektifa, adverbia, dan numeralia. Sedangkan yang termasuk kata tugas adalah kata-kata yang yang berkategori preposisi dan konjungsi.[10]

3.      Frase

Frase lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi satah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat.

Frase tidak memiliki makna baru, melainkan makna sintaktik atau makna gramatikal bedanya dengan kata majemuk yaitu kata majemuk sebagai komposisi yang memiliki makna baru atau memiliki satu makna.

Jenis Fase:
1. Frase eksosentrik adalah frase yang komponen komponennya tidak mempunyai perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhan­nya. Misalnya, frase di pasar, yang terdiri dari komponen di dan komponen pasar. Frase eksosentirk biasanya dibedakan atas frase eksosentrik yang direktif dan frase eksosentrik yang nondirektif.
2. Frase endosentrik adalah frase yang salah satu unsurnya atau komponennya memiliki perilaku sintaksias yang sama dengan keseluruhannya. Misalnya, sedang komponen keduanya yaitu membaca dapat menggan­tikan kedudukan frase tersebut.
3. Frase Koordinatif
Frase koordinatif adalah frase yang komponen pembentuknya terdiri dari dua komponen atau lebih yang sama dan sederajat dan secara potensial dapat dihubungkan oleh kunjungsi koordinatif.
4. Frase Apositif
Frase apositif adalah frase koordinatif yang kedua k komponenanya saling merujuk sesamanya, dan oleh karena itu urutan komponennya dapat dipertukarkan.

4.      Klausa

Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu ada kom­ponen, berupa kata atau frase, yang berfungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, sebagai objek, dan sebagai keterangan. Badudu (1976 : 10) mengatakan bahwa klausa adalah “sebuah kalimat yang merupakan bagian daripada kalimat yang lebih besar.”
Sebuah konstruksi disebut kalimat kalau kepada konstruksi itu diberikan intonasi final atau intonasi kalimat. Jadi, konstruksi nenek mandi baru dapat disebut kalimat kalau kepadanya diberi intonasi final kalau belum maka masih berstatus klausa.Tempat klausa adalah di dalam kalimat.
Berdasarkan strukturnya dapat dibedakan adanya klausa bebas dan klausa terikat. Klausa bebas dalah klausa yang mempunyai unsur-unsur lengkap, sekurang-kurangnya mempunyai subyek dan predikat, dan karena itu mempunyai potensi untuk menjadi kalimat mayor. Klausa terikat memiliki struktur yang tidak lengkap.

Berdasarkan kategori unsur segmental yang menjadi predikatnya dapat dibedakan adanya klausa verbal, klausa nominal, klausa ajektival, klausa adverbial dan klausa preposisional. Dengan adanya berbagai tipe verba, maka dikenal adanya klausa transitif, klausa intransitif, klausa refleksif dan klausa resprokal. 

Klausa ajektival adalah klausa yang predikatnya berkategori ajektiva, baik berupa kata maupun frase. Klausa adverbial adalah klausa yang predikatnya berupa adverbial. Klausa preposisional adalah klausa yang predikatnya berupa frase berkategori. 

Klausa numeral adalah klausa yang predikatnya berupa kata atau frase numerila. Klausa berupasat adalah klausa yang subjeknya terikat didalam predikatnya, meskipun di tempat lain ada nomina atau frase nomina yang juga berlaku sebagai subjek.

5.      Kalimat
Ramlan (1981:6) mengatakan : “kalimat adalah satuan gramatik yang dibatasi adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik”. Kalimat merupakan satuan atau deretan kata-kata yang memiliki intonasi tertentu sebagai pemarkah keseluruhannya dan secara ortografi biasanya diakhiri tanda titik atau tanda akhir lain yang sesuai.
Kalimat adalah susunan kata-kata yang teratur yang berisi pikiran yang lengkap. Dalam kaitannya dengan satuan-satuan sintaksis yang lebih kecil (kata, frase, dan klausa) kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final. Intonasi final yang ada yang memberi ciri kalimat ada tiga buah, yaitu intonasi deklaratif, intonasi interogratif (?) dan intonasi seru (!)
Jenis kalimat dapat dibedakan berdasarkan berbagai, kriteria atau sudut pandang. Kalimat inti dan Kalimat Non Inti Kalimat inti atau disebut kalimat dasar, adalah kalimat yang dibentuk dari klausa inti yang lengkap bersifat deklaratif, aktif, atau netral, dan afirmarif. Di dalam praktek berbahasa, lebih banyak digunakan kalimat non inti daripada kalimat inti.
1)   Kalimat Tunggal dan Kalimat Majemuk
Kalau klausanya hanya satu, maka kalimat tersebut disebut kalimat tunggal. Kalau klausa di dalam kalimat terdapat lebih dari satu, maka kalimat itu disebut kalimat majemuk. Berdasarkan sifat hubungan klausa di dalam kalimat, dibedakan adanya kalimat majemuk koordinatif (konjungsi koordinatif seperti dan, atau, tetapi, lalu) kalimat majemuk subordinatif (kalau, ketika, meskipun, karena) dan kalimat majemuk kompleks ( terdiri dari tiga klausa atau lebih, baik dihubungkan secara koordinatif maupun subrodinatif atau disebut kalimat majemuk campuran./
2)   Kalimat Mayor dan Kalimat Minor
Kalau klausa lengkap sekurang-kurangnya memiliki unsur subjek dan predikat, maka kalimat itu disebut kalimat mayor. Kalau klausanya tidak lengkap, entah terdiri subjek saja, predikat saja, ataukah keterangan saja, maka kalimat tersebut disebut kalimat minor.
3)   Kalimat Verbal dan Kalimat Non-Verbal
Kalimat verbal adalah kalimat yang dibentuk dari klausa verbal, atau kalimat yang predikatnya berupa kata atau frase yang berkategori verba. Sedangkan kalimat nonverbal adalah kalimat yang predikatnya bukan frase atau frase verbal, bisa nomina, ajektiva, adverbial, atau juga numeralia.
4)   Kalimat Bebas dan Kalimat Terikat
Kalimat bebas adalah kalimat yang mempunyai potensi untuk menjadi ujaran lengkap atau dapat memulai sebuah paragraf atau wacana tanpa bantuan kalimat atau konteks lain yang menjelaskannya. Sedangkan kalimat terikat adalah kalimat yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai ujaran lengkap, atau menjadi pembuka paragraf atau wawancara tanpa bantuan konteks.
Dalam bahasa Indonesia intonasi tidak berlaku pada tataran fonologi dan morfologi, melainkan hanya berlaku pada tataran sintaksis. Intonasi merupakan ciri utama yang membedakan kalimat dari sebuah klausa. Ciri-ciri intonasi berupa tekanan tempo dan nada.

6.      Wacana

Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan gramatikal tertinggi atau terbesar. Persyaratan gramatikal dalam wacana akan terpenuhi kalau dalam wacana itu sudah terbina kekhohesian maka akan terciptalah erensian. 

Alat-alat gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif antara lain : konjungsi, kedua menggunakan kata ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai rujukan anaforis, ketiga menggunakan elipsis. 

Selain dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif dan koherens dapat juga dibuat dengan bantuan pelbagai aspek semantik. 

Berbagai jenis wacana sesuai dengan sudut pandang dari mana wacana itu dilihat. Pertama-tama di lihat adanya wacana lisan dan wacana tulis berkenaan dengan sarannya, yaitu bahasa lisan dan bahasa. Dilihat dari penggunaan bahasanya ada wacana prosa dan wacana puisi. 

Wacana adalah satuan bahasa yang utuh dan lengkap, maksudnya adalah wacana ini satuan ”ide” atau ”pesan” yang disampaikan akan dapat dipahami pendengar atau pembaca tanpa keraguan, atau tanpa merasa adanya kekurangan informasi dari ide atau pesan yang tertuang dalam wacana itu.

SIMPULAN
         Ruang lingkup sistem kebahasaan yang mengikat setiap bahasa relatif sama yaitu meliputi sistem fonologi (tata bunyi), morfologi (pembentukan kata), sintaksis (pembentukan kalmat). Fonologi merupakan bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa. Menurut hierarki satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik.
         Morfologi mempelajari dan menganalisis struktur, bentuk, klasifikasi kata-kata. Dalam kajian morfologi dikenal istilah morferm yang didalamnya terdapat jenis dan klasfikasi dari morferm itu sendiri.
Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antarkata dalam tuturan. Tuturan dalam hal ini menyangkut apa yang dituturkan orang dalam bentuk kalimat atau wacana. Unsur bahasa yang termasuk di dalam sintaksis adalah kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana.


KLASIFIKASI BUNYI BAHASA

1.      Vokal, konsonan, dan Semi-Vokal
Secara umum bunyi bahasa dibedakan atas : vokal, konsonan, dan semi vokal. Pembedaannya bedasarakan pada ada tidaknya hambatan (proses artikulasi) pada alat bicara.
a.       Bunyi disebut vokal apabila terjadinya tidak ada hambatan (proses artikuliasi) pada alat bicara.
b.      Bunyi disebut konsonan apabila terjadinya dibentuk dengan menghambat arus udara pada sebagian alat bicara, jadi ada artikulasi.
c.       Bunyi semi-vokal adalah bunyi yang secara praktis termasuk konsonan tetapi karena pada waktu diartikulasikan belum membentuk konsonan murni, maka bunyi-bunyi itu disebut semi-vokal atau semi-konsonan.
2.      Nasal dan Oral
Bunyi bahasa dapat dibedakan menjadi nasal (segau) dan oral. Pembedaan ini didasarkan pada keluarnya atau disertainya udara melalui rongga hidung.
a.       Apabila udara keluar atau disertai keluarnya udara melalui rongga hidung, dengan cara menurunkan langit-langit lunak beserta ujung anak tekaknya, maka bunyi itu disebut bunyi nasal atau sengau.
b.      Apabila langit-langit lunak  beserta ujung anak tekak menaik menutupi rongga hidung sehingga udara hanya melalui rongg mulut saja, maka bunyi yang dihasilkan disebut bunyi oral.
3.      Keras (Fortes) dan Lunak (Lenes)
Bunyi bahasa dibedakan atas bunyi keras (fortes) dan lunak (Lenes). Perbedaan ini didasarakan pada ada tidaknya ketegangan kekuatan arus udara pada waktu bunyi itu diartikulasikan. Bunyi bahasa disebut keras bila pada waktu diartikulasiakan disertai ketegangan kekuatan arus udara. Jika tidak disertai ketegangan kekuatan arus udara disebut bunyi lunak.

4.      Bunyi Panjang dan Pendek
Bunyi bahasa dibedakan atas bunyi panjang dan pendek. Perbedaan ini didasarakan pada lamanya bunyi itu diucapkan, atau lamanya bunyi itu diartikulasaikan.
5.      Bunyi Rangkap dan Tunggal
Bunhi dibedakan atas bunyi rangkap (padu, ganda) dan tunggal.
a.       Bunyi rangkap adalah bunyi yang terdiri dari dua bunyi dan terdapat dalam suatu suku kata.
b.      Jika terdapat dalam dua suku kata yang berbeda bukan bunyi rangkap melainkan bunyi tunggal saja.
Bunyi rangkap vokal disebut diftong, sedangkan bunyi tunggal vokal disebut monoftong. Ciri diftong ialah keadaan posisi lidah dalam mengucapkan bunyi vokal yang satu dengan yang lain salig berbeda. Diftong dibedakan atas diftong naik dan diftong turun.
6.      Bunyi Nyaring dan Tidak Nyaring
a.       Vokal
Bunyi dibedakan atas bunyi nyaring (lantang) dan tidak nyaring pada waktu terdengar oleh telinga. Jadi pembedaan bunyi berdasarkan derajat kenyaringan itu sebenarnya adalah tinjauan menurut aspek auditoris. Derajat kenyaringan itu sendriri ditentukan oleh luas sempitnya atau besar kecilnya resonansi pada waktu bunyi itu diucapkan. Makin luas resonansi saluran bicara yang dipakai pada waktu membentuk bunyi bahasa makin tinggi derajat kenyaringannya. Sebaliknya, semakin sempit ruang resonansinya makin rendah derajat kenyaringannya. Diantara vokal-vokal maka vokal yang paling tinggi justru derajat kenyaringan (kalantangan, sonorotas)-nya paling rendah. Karena ruang resonansinya pada waktu diucapkan paling sempit jika dibandingkan dengan muka lain. Semakin kebawah derajat kenyaringan untuk vokal itu berturut-turut dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi ialah : vokal tertutup, vokal semi tertutup (semi terbuka), vokal terbuka.
b.      Konsonan
Dibandingkan dengan vokal, bunyi-bunyi konsonan karena terbentuknya disertai dengan hambatan alat bicara pada saluran bicara sebagian ruang resonansi, maka derajat kenyaringannya lebih rendah. Konsonan letup tak bersuara adalah yang paling rendah sedangkan yang paling tinggi adalah konsonan geletar. Derajat kenyaringan untuk konsonan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi berturut-turut adalah sebagai berikut: konsonan letup tak bersuara, geseran tak bersuara, letup bersuara, geseran bersuara, nasal, sampingan, dan geletar.


7.      Bunyi dengan Arus Udara Egresif dan Bunyi dengan Arus In-gresif
Arah arus udara dalam pembentukan bunyi bahasa dapat dibedakan atas egresif dan in-gresif. Dalam kebanyakan bunyi bahasa, pembentukan bunyi itu dilaksanakan dengan arus udara keuar dari paru-paru, arus udara demikian disebut egresif. Namun, dalam bahasa-bahasa tertentu dapat juga bunyi itu terbentuk dengan arah udara masuk kedalam paru-paru, jika demikian arah udara itu disebut in-gresif. Arus udara egresif dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu egrsif pulmonik dan egresif glotalik. Begitu juga arus udara in-gresif dapatdibagi menjadi dua yaitu, in-gresif glotalik dan in-gresif velarik.
a.       Egresif pulmonik adalah bunyi yang terbentuk dengan arus udara egresif (keluar) dengan mekanisme pulmonik. Mekanisme udara pulmonik ialah udara dari paru-paru sebagai sumber utamanya dihembuskan keluar dengan cara mengecilkan ruangan paru-paru, otot perut dan rongga dada.
b.      Egresif glotalik adalah bunyi yang terbentuk dengan arus udara egresif (keluar) dengan mekanisme glotalik. Mekanisme glotalik terjadi dengan cara merapatkan pita-pita suara sehingga glotis dalam keadaan tertutup rapat sekali.
c.       Ingresif glotalik adalah bunyi bahasa yang terbentuk dengan arus udara ingresif (masuk) dengan mekanisme glotalik. Bunyi dengan arus udara ingresif mekanisme glotalik ini mungkin secara sempurna prosesnya sama dengan egresif glotalik diatas. Jadi, merapatkan pita-pita suara sehingga glotis tertutup rapat sekali.Hanya bersama-sama dengan itu rongga pangkal tenggorok yang disempitkan itu diturunkan tidak dinaikan, kemudian udara masuk.
d.      Ingresif velarik adalah bunyi bahasa yang terbentuk dengan arus udara ingresif (masuk) dengan mekanisme velarik.mekanisme udara velarik terjadi dengan menaikkan pangkal lidah ditempelkan pada langit-langit lunak. Bersama-sama dengan itu kedua bibir ditutup rapat kemudian ujung lidah dan kedua sisi lidah merapat pada gigi atau gusi dalam itu dilepaskan turun serta dikebelakangkan, bibir dibuka sehingga ada kerenggangan ruangan udara pada rongga mulut. Dengan demikian memungkinkan udara luar untuk mesuk.

H. Alat Ucap   
            Dalam fonetik artikulatoris hal pertama yang harus dibacarakan adalah alat ucap manusia untuk menghasilkan bunyi bahasa. Sebetulnya alat yang digunakan untuk menghasilkan bunyi bahasa ini mempunyai fungsi utama lain yang bersifat biologis. Misalnya, paru – paru untuk bernafas, lidah untuk mengecap, dan gigi untuk mengunyah. Namun, secara kebetulan alat – alat itu diinginkan juga untuk berbicara. Kita perlu mengenal nama – nama alat – alat itu untuk bisa memahami bagaiamana bunyi bahasa itu diproduksi; dan nama – nama bunyi itu pun diambil dari nama – nama alat ucap itu. Untuk mengenal alat – alat ucap itu, perhatikan bagan berikut, dan perhatikan
-  Paru - paru
-  Batang tenggorokan (trachea)
-  Pangkal tenggorokan (larynx)
-  Pita suara (vokal cord)
-  Krikoid (cricoid)
-  Tiroid (thyroid) atau lekun
-  Aritenoid (arythenoid)
-  Dinding rongga kerongkongan (wall of pharynx)
-  Epiglotis (epiglottis)
-  Akar lidah (root of tongue)
Pangkal lidah (back of the tongue, dorsum)
-  Tengan lidah (middle of the tongue, medium)
-  Daun lidah (blade of the tongue, laminum)
-  Ujung lidah (tip of the tongue, apex)
-  Anak tekak (uvula)
-  Langit – langit linak (soft palate, velum)
-  Langit – langit keras (hard palate, palatum)
-  Gusi, lengkung kaki gigi (alveolum)
-  Gigi atas (upper teeth, dentum)
-  Gigi bawah (lower teeth, dentum)
-  Bibir atas (upper lip, labium)
-  Bibir bawah (lower lip, labium)
-  Mulut (mouth)
-  Rongga mulut (aral cavity)
-  Rongga hidung (nasal cavity)

PENGARUH BUNYI, TRANSKRIPSI DAN TRANSLITERASI

A.    Pengaruh-mempengaruhi Bunyi
Dalam hal pengaruh-mempengaruhi bunyi dapat ditijau dari dua segi, yaitu akibat dari pengaruh- mempengaruhi bunyi itu dan tempat artikulasi yang manakah yang mempengaruhi.Akibat dari pengaruh-mempengaruhibunyi disebut proses asimilasi. Sedangkan tempat artikulasi yang mana yang mempengaruhi disebut artikulasi penyerta (ko-artikulasi sekunder).
1) Proses Asimilasi                                                                
Proses asimilasi di sini terbatas pada asimilasi fonetis saja, yaitu pengaruh-mempengaruhi bunyi tanpa mengubah identitas fonem. Menurut arahnya, asimilasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a.      Asimilasi progresif
Asimilasi progresif terjadi bila arah pengaruh bunyi itu ke depan. Seperti perubahan bunyi [t] yang biasanya dalam bahasa Indonesia dan Jawa diucapkan secara apiko-dental, tetapi dalam kata stasiun, letup [t] itu diucapkan secara lamino-alveolar. Perubahan letup apiko-dental [t] menjadi letup lamino-alveolar [t], karena pengaruh secara progresif dari bunyi geseran lamino-alveolar [s].
b.      Asimilasi regresif
Asimilasi regresif terjadi bila arah pengaruh bunyi itu ke belakang. Seperti perubahan bunyi [n] yang biasanya dalam bahasa Indonesia dan Jawa diucapkan secara apiko-alveolar, tetapi dalam kata pandan, nasal sebelum [ḍ] itu diucapkan secara apiko-palatal. Perubahan nasal ] karena pengaruh secara*apiko-alveolar [n] menjadi nasal apiko-palatal [n regresif dari bunyi letup palatal [ḍ]. Dengan demikian tulisan fonetis untuk pandan dalam bahasa Indonesia ialah [panḍan] dan dalam bahasa Jawa ialah [pandhan].
2) Artikulasi Penyerta
Bunyi [k] dalam kata kucing (dalam bahasa Indonesia /Jawa) dengan [k] dalam kata kijang (bahasa Indonesia) atau kidang (bahasa Jawa) berbeda; walaupun menurut biasanya atau menurut artikulasi primernya sama, yaitu merupakan bunyi dorso-velar yang dibentuk dengan artikulasi pangkal lidah dan langit-langit lunak. Perbedaan itu disebabkan oleh adanya artikulasi penyerta (ko-artikulasi atau artikulasi sekunder) bunyi vokal yang langsung mengikutinya (cf. Bloch & George, 1942:29; Samsuri, 1978:119).

Berdasarkan tempat artikulasinya, maka proses pengaruh bunyi karena artikulasi penyerta dapat dibagi menjadi:
1)      Labialisasi
Labialisasi adalah pembulatan bibir pada artikulasi primer, sehingga terdengar bunyi [w] pada bunyi utama tersebut. Kecuali bunyi labial dapat disertai labialisasi. Bunyi [t] dalam kata tujuan (dalam bahasa Indonesia atau Jawa Misalnya, terdengar sebagai [w] [tw]  dilabialisasi).

2)      Retrofleksi
Retrofleksi adalah penarikan ujung lidah ke belakang pada artikulasi primer, sehingga terdengar bunyi [r] pada bunyi utamanya. Kecuali apikal, bunyi dapat disertai retrofleksi. Misalnya [k] diretrofleksi dalam kata kerdus.

3)      Palatalisasi
Palatalisasi adalah pengangkatan daun lidah ke arah langit-langit keras pada artikulasi primer. Kecuali bunyi palatal dapat disertai  palatalisasi. Bunyi [p] dalam kata piara (bahasa Indonesia/Jawa) misalnya, terdengar sebagai [py] [p] dipalatalisasi.
4)      velarisasi
Velarisasi adalah pengangkatan pangkal lidah ke arah langit-langit lunak pada aretikulasi primer. Selain bunyi velar bunyi-bunyi dapat divelarisasi. Bunyi [m] dalam kata makhluk (bahasa Indonesia) misalnya, terdengar sebagai [mx] [m] divelarisasi.
5)      Glotalisasi
Glotalisasi adalah proses penyerta hambatan pada (glotis tertutup rapat) sewaktu artikulasi primer diucapkan. Selain bunyi glotal dapat disertai glotalisasi. Vokal pada awal kata dalam bahasa Indonesia dan Jawa sering diglotalisasikan. Misalnya, dalam bahasa Indonesia kata akan diucapkan [?akan] dan [?obat].





PEMBAHASAN


A.  FONOLOGI

            Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa disebut fonologi, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi dan logi yaitu ilmu. Menurut hierarki satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Secara umum fonetik biasa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna.

          Untuk lebih jelasnya kalau kita perhatikan baik-baik ternyata bunyi [i] yang terdapat pada kata-kata [intan], [angin], dan [batik] adalah tidak sama. Begitu juga bunyi [p] pada kata inggris , , dan , juga tidak sama. Ketidaksamaan bunyi [i] dan bunyi [p] pada deretan kata-kata diatas itulah sebagai salah satu contoh objek atau sasaran studi fonetik.Dalam kajiannya fonetik, akan berusaha mendeskripsikan perbedaan bunyi-bunyi itu serta menjelaskan sebab-sebabnya. Sebaliknya, perbedaan bunyi [p] dan [b] yang terdapat misalnya pada kata [paru] dan [baru] adalah menjadi contoh sasaran studi fonemik, sebab perbedaan bunyi [p] dan [b] itu menyebabkan berbedanya makna kata [paru] dan [baru] itu.

1.    Fonetik
Fonetik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Kemudian menurut urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu, dibedakan adanya tiga jenis fonetik, yaitu fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan fonetik auditoris.
Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam mengahasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan. Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam. Sedangkan fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita. Dari ketiga jenis fonetik ini yang paling berurusan dengan ilmu linguistik adalah fonetik artikulatoris sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik auditoris lebih berkenaan dengan bidang kedokteran.
2.    Fonemik  
Identitas fonem sebagai idebtitas pembeda. Dasar bukti identitas fonem adalah apa yang dapat kita sebut “fungsi pembeda” sebagai sifat khas fonem itu. Seperti contoh tentang rupa dan lupa. Satu-satunya perbedaan diantara kedua kata itu ialah menyangkut bunyi pertama, (r) dan (l). Oleh karena semua yang lain dalam pasangan kedua kata ini adalah sama, maka pasangan tersebut disebut “pasangan minimal” : perbedaan di dalam pasangan itu adalah “minimal”. Dengan perkataan lain, perbedaan antara l dan r adalah apa yang membedakan dari sudut analisis bunyi rupa dan lupa. Maka dari itu, l dan r dalam bahasa Indonesia merupakan fonem-fonem yang berbeda identitasnya. Objek penelitian fonemik adalah fonem yakni bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata.
Untuk mengetahui apakah sebuah bunyi fonem atau bukan, kita harus mencari sebuah satuan bahasa, biasanya sebuah kata, yang mengandung bunyi tersebut, lalu membandingkannya dengan satuan bahasa lain yang mirip dengan satuan bahasa yang pertama. Kalau ternyata kedua satuan bahasa itu berbeda maknanya, maka berarti bunyi tersebut adalah sebuah fonem, karena dia bisa atau berfungsi membedakan makna kedua satuan bahasa itu.
Fonem itu berjenis-jenis. John Lyons (1968), Pater Ladefoged (1975), Gleason (1958) mengatakan bahwa fonem setiap bahasa dapat dibagi atas :

  1. Fonem segmental adalah fonem yang dapat dianalisis keberadaanya. Fonem segmental dapat dibagi  atas vokal dan konsonan.
  2. Fonem suprasegmental adalah fonem yang keberadaannya harus bersama-sama fonem segmental.

B.  MORFOLOGI

1.      Pengertian morfologi
Morfologi adalah bagian linguistik yang mempelajari morfem. Morfologi mempelajari dan menganalisis struktur, bentuk, klasifikasi kata-kata. Dalam linguistic bahasa Arab morfologi ini adalah tashrif yaitu perubahan satu bentuk (asal) kata menjadi bermacam-macam bentukan untuk mendapatkan makna yang berbeda, yang tanpa perubahan ini, makna yang berbeda itu akan terlahirkan.
Dalam pembahasan mengenai fonologi, kita memahami bahwa fonem adalah kesatuan bunyi terkecil yang membedakan arti, seperti pada pasangan mata-mati, kedua bunyi /a/ dan /i/ adalah dua fonem yang membedakan arti. Sekarang kalau kata mati itu dirubah menjadi  kematian atau mati- matian maka dua kata terakhir ini adalah bentukan baru yaitu dengan menambahkan ke dan an dan pengulangan mati ditambah an. Dua kata baru ini mempunyai arti yang berbeda dari makna kata asal mati. Perubahan-perubahan bentuk inilah yang dipelajari morfologi (morphe = form = bentuk). Karena itu ada yang memberi definisi morfem sebagai satu satuan bentuk terkecil yang mempunyai arti. Morfologi ini bukan hanya mencakup studi sinkronik (morphemic), tapi juga sejarah dan perkembangan dan pembentukan kata (historial morphology).
2.      Identifikasi morfem
               Untuk menentukan sebuah satuan bentuk adalah morfem atau bukan, kita harus membandingkan bentuk tersebut didalam kehadirannya dengan bentuk-bentuk lain. Kalau bentuk tersebut ternyata bisa hadir secara berulang-ulang dengan bentuk lain maka bentuk tersebut adalah sebuah morfem. Sebagai contoh (1) : Kedua, ketiga, kelima, ketujuh, dsb.
Ternyata juga semua bentuk ke pada contoh (1) diatas dapat disegmentasikan sebagai satuan tersendiri dan yang mempunyai makna yang sama, yaitu menanyakan tingkat atau derajat. Dengan demikian bentuk ke pada contoh diatas, karena merupakan bentuk terkecil yang berulang-ulang dan mempunyai makna yang sama, bisa disebut sebagai sebuah morfem. Sekarang perhatikan bentuk ke pada contoh (2) berikut : kepasar, kekampus, kedapur, dsb.

           Ternyata juga bentuk ke pada contoh (2) dapat disegmentasikan sebagai satuan tersendiri dan juga mempunyai arti yang sama, yaitu menyatakan arah atau tujuan. Dengan demikian bentuk ke pada contoh diatas juga adalah morfem.
            Dari contoh (1) dan (2) keduanya merupakan morfem yang berbeda, meskipun bentuknya sama. Jadi kesamaan arti dan kesamaan bentuk merupakan cirri atau identitas sebuah morfem.

            Sekarang perhatikan contoh (3) yang juga terdapat pada contoh sebelumnya, kemudian bandingkan dengan bentuk-bentuk lain yang ada pada contoh (3) : meninggalkan, ditinggal, tertinggal, peninggalan, dsb.

            Dari contoh diatas ternyata ada bentuk yang sama, yang dapat disegmentasikan dari bagian unsur-unsur lainnya. Bagian yang sama itu adalah bentuk tinggal atau ninggal (tentang perubahan bunyi t- menjadi bunyi n-). Maka, disini pun bentuk tinggal adalah sebuah morfem, karena bentuknya sama dan maknanya juga sama.

            Untuk menentukan sebuah bentuk adalah morfem atau bukan, kita memang harus mengetahui atau mengenal maknanya. Perhatikan contoh (4) : menelantarkan, telantar, lantaran. Dari contoh tersebut, meskipun bentuk lantar terdapat berulang-ulang, tapi bentuk lantar itu bukanlah sebuah morfem, karena tidak ada maknanya. Lalu, ternyata kalau bentuk menelantarkan memang punya hubungan dengan terlantar, tetapi tidak punya hubungan dengan lantaran.
3.      Morfem, Morf dan Alomorf 

Seperti halnya dengan bunyi fonetis semata-mata, yang dilambangkan dengan mengapitnya diantara kurung persegi, dan dengan fonem- fonem yang diapit diantara garis kanan, maka morfemmorfem-morfem lazim dilambangkan dengan mengapitnya diantara kurung kurawal. Misalnya, kata Inggris comfort dilambangkan sebagai { comfort }, comfortable sebagai { comfort }+ {-able}, uncomfortable sebagai {comfort}+{-able} dulu, baru {un-}+ {comfortable}, atau (dalam satu rumus) {{un-}{{comfort}{-able}}} (namun rumus ”ganda” seperti itu hanya mungkin bila semua morfem adalah morfem segmental). 

Dalam analisis struktur-struktur morfemis, apa yang diapit diantara kurung kurawal itu disebut (lambang) “morfem”. Kesulitannya (yang deskriptif) dengan pelambangan seperti itu adalah bahwa tidak semua morfem berupa segmental. Namun dapat saja memerlukan kata jamak Inggris feet sebaga{foot}+ (katakana) {jamak}, atau jamak sheep sebagai {sheep} +{Ǿ}. Pelambangan seperti “{jamak}” itu sudah menunjukan bahwa morfem itu merupakan suatu satuan yang abstrak : dapat berupa segmental (utuh atau terbagi) dapat berupa “nol”, dapat juga berupa nada tertentu.

Berbeda dengan morfem itu, almorf-almorfnya adalah jauh lebih konkret, meskipun tetap tidak mutlak perlu berupa segmental. Akan tetapi demi perian yang mudah kita sering membutuhkan suatu bentuk yang kelihatannya cukup konkret. Bentuk konkret yang demikian disebut “morf”. 

Jadi, alomorf adalah perwujudan konkret (didalam pertuturan) dari sebuah morfem. Setiap morfem tentu mempunyai alomorf, entah satu, entah dua atau juga enam buah. Atau bisa juga dikatakan morf dan alomorf adalah dua buah nama untuk sebuah bentuk yang sama. Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya, sedangkan alomorf adalah nama untuk bentuk tersebut kalau sudah diketahui status morfemnya.

4.      Klasifikasi morferm

Morfem-morfem dalam setiap bahasa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria. Antara lain berdasarkan kebebasannya, keutuhannya,maknanya, dsb [6]

a.      Morfem bebas dan morfem terikat
Morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam pertuturan. Contoh (dalam bahasa Indonesia) : pulang, makan, dan bagus adalah termasuk morfem bebas.
Morfem terikat adalah morfem yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam pertuturan. Contohnya adalah semua afiks dalam bahasa Indonesia.
b.      Morfem utuh dan morfem terbagi
Perbedaan morfem utuh dan morfem terbagi berdasarkan bentuk formal yang dimiliki morfem tersebut : apakah merupakan satu kesatuan yang utuh atau merupakan dua bagian yang terpisah atau terbagi, karena disisipi morfem lain. Contoh morfem utuh : (termasuk morfem dasar) = {meja}, {kursi}, {kecil}, {laut}, dan {pinsil}, (termasuk morfem terikat) = {ter-},{ber-},{henti},dsb.
Sedangkan contoh morfem terbagi (adalah sebuah morfem yang terdiri dari dari dua buah bagian yang terpisah. Umpamanya pada kata Indonesia kesatuan terdapat satu morfem utuh, yaitu {satu} dan satu morfem terbagi, yakni {ke-/-an}. Dalam bahasa Arab, dan juga bahasa Ibrani, semua morfem akar untuk verba adalah morfem terbagi, yang terdiri atas tiga buah konsonan yang dipisahkan oleh tiga buah vocal, yang merupakan morfem terikat yang terbagi pula. Misalnya morfem akar terbagi {k,t,b} ‘tulis’ merupakan dasar untuk kata-kata : kataba (ia laki-laki telah menulis), katabat (ia perempuan telah menulis,), maktabun (perpustakaan).
c.       Morfem segmental dan morfem suprasegmental
Perbedaan morfem segmental dan morfem suprasegmental berdasarkan jenis fonem yang membentuknya. Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental, seperti morfem {lihat},{lah},{sikat}dan {ber}. Jadi, semua morfem yang berwujud bunyi adalah morfem segmental. Sedangkan morfem suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh , dsb. miunsur-unsur suprasegmental, seperti tekanan, nada, durasi, dsb.
d.     Morfem beralomorf zero
Dalam linguistik deskriptif ada konsep mengenai morfem beralomorf zero tau nol (lambangnya berupa Ǿ), yaitu morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud bunyi segmental maupun berupa prosodi (unsure suprasegmental), melainkan berupa “kekosongan”
e.      Morfem bermakna leksikal dan morfem tak bermakna leksikal
Perbedaan lain yang biasa dilakukan orang adalah dikotomi adanya morfem bermakna leksikal dan morfem tidak bermakna leksikal. Yang dimaksud dengan morfem bermakna leksikal adalah morfem-morfem yang secara inheren telah memiliki makna pada dirinya sendiri, tanpa perlu berproses dulu dengan morfem lain. Seperti : {kuda},{pergi},{lari},{merah}. Sebaliknya morfem yang tidak bermakna leksikal tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri, akan mempunyai makna jika digabung dengan morfem lain. Seperti : {ber-},{me-},dan {ter-}.
5.      Jenis Morfem [7]

Morfem yang dileburi morfem yang lain kita sebut “morfem dasar”, dan yang dileburkan itu berupa “imbuhan” atau “klitika” atau bentuk dasar yang lain (dalam pemajemukan) atau yang sama (dalam reduplikasi).
  • Morfem pangkal adalah morfem dasar yang bebas, contohnya: do dalam undo hak dalam berhak. 
  • Morfem akar adalah morfem dasar yang berbentuk terikat. Agar menjadi bentuk bebas, akan harus mengalami pengimbuhan. 
  • Morfem pradasar adalah bentuk yang membutuhkan pengimbuhan atau pengklitikan atau pemajemukan untuk menjadi bentuk bebas.

C.  SINTAKSIS
1.      Pengertian Sintaksis
          Kata sintaksis berasaldari kata Yunani (sun = ‘dengan’ + tattein ‘menempatkan’. Jadi kata sintaksis secara etimologis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat.[8] Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antarkata dalam tuturan[9]. Sama halnya dengan morfologi, akan tetapi morfologi menyangkut struktur gramatikal di dalam kata.Unsur bahasa yang termasuk di dalam sintaksis adalah frase, kalusa,dan kalimat. Tuturan dalam hal ini menyangkut apa yang dituturkan orang dalam bentuk kalimat.
Ramlan (1981:1) mengatakan: “Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase .”.

2.      Kata sebagai Satuan Sintaksis
          Dalam tataran sintaksis kata merupakan satuan terkecil, yang secara hierarkial menjadi komponen pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar yaitu frase. Maka di sini, kata, hanya dibicarakan sebgai satuan terkecil dalam sintaksis, yaitu dalam hubungannya dengan unsur-unsur pembentuk satuan yang lebih besar, yaitu frase, klausa, dan kalimat Dalam pembicaraan kata sebagai pengisi satuan sintaksis, pertama-tama harus kita bedakan dulu adanya dua macam kata, yaitu yang disebut kata penuh (fullword) dan kata tugas (funcionword). Yang merupakan kata penuh adalah kata-kata yang termasuk kategori nomina, ajektifa, adverbia, dan numeralia. Sedangkan yang termasuk kata tugas adalah kata-kata yang yang berkategori preposisi dan konjungsi.[10]

3.      Frase

Frase lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi satah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat.

Frase tidak memiliki makna baru, melainkan makna sintaktik atau makna gramatikal bedanya dengan kata majemuk yaitu kata majemuk sebagai komposisi yang memiliki makna baru atau memiliki satu makna.

Jenis Fase:
1. Frase eksosentrik adalah frase yang komponen komponennya tidak mempunyai perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhan­nya. Misalnya, frase di pasar, yang terdiri dari komponen di dan komponen pasar. Frase eksosentirk biasanya dibedakan atas frase eksosentrik yang direktif dan frase eksosentrik yang nondirektif.
2. Frase endosentrik adalah frase yang salah satu unsurnya atau komponennya memiliki perilaku sintaksias yang sama dengan keseluruhannya. Misalnya, sedang komponen keduanya yaitu membaca dapat menggan­tikan kedudukan frase tersebut.
3. Frase Koordinatif
Frase koordinatif adalah frase yang komponen pembentuknya terdiri dari dua komponen atau lebih yang sama dan sederajat dan secara potensial dapat dihubungkan oleh kunjungsi koordinatif.
4. Frase Apositif
Frase apositif adalah frase koordinatif yang kedua k komponenanya saling merujuk sesamanya, dan oleh karena itu urutan komponennya dapat dipertukarkan.

4.      Klausa

Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu ada kom­ponen, berupa kata atau frase, yang berfungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, sebagai objek, dan sebagai keterangan. Badudu (1976 : 10) mengatakan bahwa klausa adalah “sebuah kalimat yang merupakan bagian daripada kalimat yang lebih besar.”
Sebuah konstruksi disebut kalimat kalau kepada konstruksi itu diberikan intonasi final atau intonasi kalimat. Jadi, konstruksi nenek mandi baru dapat disebut kalimat kalau kepadanya diberi intonasi final kalau belum maka masih berstatus klausa.Tempat klausa adalah di dalam kalimat.
Berdasarkan strukturnya dapat dibedakan adanya klausa bebas dan klausa terikat. Klausa bebas dalah klausa yang mempunyai unsur-unsur lengkap, sekurang-kurangnya mempunyai subyek dan predikat, dan karena itu mempunyai potensi untuk menjadi kalimat mayor. Klausa terikat memiliki struktur yang tidak lengkap.

Berdasarkan kategori unsur segmental yang menjadi predikatnya dapat dibedakan adanya klausa verbal, klausa nominal, klausa ajektival, klausa adverbial dan klausa preposisional. Dengan adanya berbagai tipe verba, maka dikenal adanya klausa transitif, klausa intransitif, klausa refleksif dan klausa resprokal. 

Klausa ajektival adalah klausa yang predikatnya berkategori ajektiva, baik berupa kata maupun frase. Klausa adverbial adalah klausa yang predikatnya berupa adverbial. Klausa preposisional adalah klausa yang predikatnya berupa frase berkategori. 

Klausa numeral adalah klausa yang predikatnya berupa kata atau frase numerila. Klausa berupasat adalah klausa yang subjeknya terikat didalam predikatnya, meskipun di tempat lain ada nomina atau frase nomina yang juga berlaku sebagai subjek.

5.      Kalimat
Ramlan (1981:6) mengatakan : “kalimat adalah satuan gramatik yang dibatasi adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik”. Kalimat merupakan satuan atau deretan kata-kata yang memiliki intonasi tertentu sebagai pemarkah keseluruhannya dan secara ortografi biasanya diakhiri tanda titik atau tanda akhir lain yang sesuai.
Kalimat adalah susunan kata-kata yang teratur yang berisi pikiran yang lengkap. Dalam kaitannya dengan satuan-satuan sintaksis yang lebih kecil (kata, frase, dan klausa) kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final. Intonasi final yang ada yang memberi ciri kalimat ada tiga buah, yaitu intonasi deklaratif, intonasi interogratif (?) dan intonasi seru (!)
Jenis kalimat dapat dibedakan berdasarkan berbagai, kriteria atau sudut pandang. Kalimat inti dan Kalimat Non Inti Kalimat inti atau disebut kalimat dasar, adalah kalimat yang dibentuk dari klausa inti yang lengkap bersifat deklaratif, aktif, atau netral, dan afirmarif. Di dalam praktek berbahasa, lebih banyak digunakan kalimat non inti daripada kalimat inti.
1)   Kalimat Tunggal dan Kalimat Majemuk
Kalau klausanya hanya satu, maka kalimat tersebut disebut kalimat tunggal. Kalau klausa di dalam kalimat terdapat lebih dari satu, maka kalimat itu disebut kalimat majemuk. Berdasarkan sifat hubungan klausa di dalam kalimat, dibedakan adanya kalimat majemuk koordinatif (konjungsi koordinatif seperti dan, atau, tetapi, lalu) kalimat majemuk subordinatif (kalau, ketika, meskipun, karena) dan kalimat majemuk kompleks ( terdiri dari tiga klausa atau lebih, baik dihubungkan secara koordinatif maupun subrodinatif atau disebut kalimat majemuk campuran./
2)   Kalimat Mayor dan Kalimat Minor
Kalau klausa lengkap sekurang-kurangnya memiliki unsur subjek dan predikat, maka kalimat itu disebut kalimat mayor. Kalau klausanya tidak lengkap, entah terdiri subjek saja, predikat saja, ataukah keterangan saja, maka kalimat tersebut disebut kalimat minor.
3)   Kalimat Verbal dan Kalimat Non-Verbal
Kalimat verbal adalah kalimat yang dibentuk dari klausa verbal, atau kalimat yang predikatnya berupa kata atau frase yang berkategori verba. Sedangkan kalimat nonverbal adalah kalimat yang predikatnya bukan frase atau frase verbal, bisa nomina, ajektiva, adverbial, atau juga numeralia.
4)   Kalimat Bebas dan Kalimat Terikat
Kalimat bebas adalah kalimat yang mempunyai potensi untuk menjadi ujaran lengkap atau dapat memulai sebuah paragraf atau wacana tanpa bantuan kalimat atau konteks lain yang menjelaskannya. Sedangkan kalimat terikat adalah kalimat yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai ujaran lengkap, atau menjadi pembuka paragraf atau wawancara tanpa bantuan konteks.
Dalam bahasa Indonesia intonasi tidak berlaku pada tataran fonologi dan morfologi, melainkan hanya berlaku pada tataran sintaksis. Intonasi merupakan ciri utama yang membedakan kalimat dari sebuah klausa. Ciri-ciri intonasi berupa tekanan tempo dan nada.

6.      Wacana

Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan gramatikal tertinggi atau terbesar. Persyaratan gramatikal dalam wacana akan terpenuhi kalau dalam wacana itu sudah terbina kekhohesian maka akan terciptalah erensian. 

Alat-alat gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif antara lain : konjungsi, kedua menggunakan kata ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai rujukan anaforis, ketiga menggunakan elipsis. 

Selain dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif dan koherens dapat juga dibuat dengan bantuan pelbagai aspek semantik. 

Berbagai jenis wacana sesuai dengan sudut pandang dari mana wacana itu dilihat. Pertama-tama di lihat adanya wacana lisan dan wacana tulis berkenaan dengan sarannya, yaitu bahasa lisan dan bahasa. Dilihat dari penggunaan bahasanya ada wacana prosa dan wacana puisi. 

Wacana adalah satuan bahasa yang utuh dan lengkap, maksudnya adalah wacana ini satuan ”ide” atau ”pesan” yang disampaikan akan dapat dipahami pendengar atau pembaca tanpa keraguan, atau tanpa merasa adanya kekurangan informasi dari ide atau pesan yang tertuang dalam wacana itu.

SIMPULAN
         Ruang lingkup sistem kebahasaan yang mengikat setiap bahasa relatif sama yaitu meliputi sistem fonologi (tata bunyi), morfologi (pembentukan kata), sintaksis (pembentukan kalmat). Fonologi merupakan bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa. Menurut hierarki satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik.
         Morfologi mempelajari dan menganalisis struktur, bentuk, klasifikasi kata-kata. Dalam kajian morfologi dikenal istilah morferm yang didalamnya terdapat jenis dan klasfikasi dari morferm itu sendiri.
Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antarkata dalam tuturan. Tuturan dalam hal ini menyangkut apa yang dituturkan orang dalam bentuk kalimat atau wacana. Unsur bahasa yang termasuk di dalam sintaksis adalah kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana.


KLASIFIKASI BUNYI BAHASA

1.      Vokal, konsonan, dan Semi-Vokal
Secara umum bunyi bahasa dibedakan atas : vokal, konsonan, dan semi vokal. Pembedaannya bedasarakan pada ada tidaknya hambatan (proses artikulasi) pada alat bicara.
a.       Bunyi disebut vokal apabila terjadinya tidak ada hambatan (proses artikuliasi) pada alat bicara.
b.      Bunyi disebut konsonan apabila terjadinya dibentuk dengan menghambat arus udara pada sebagian alat bicara, jadi ada artikulasi.
c.       Bunyi semi-vokal adalah bunyi yang secara praktis termasuk konsonan tetapi karena pada waktu diartikulasikan belum membentuk konsonan murni, maka bunyi-bunyi itu disebut semi-vokal atau semi-konsonan.
2.      Nasal dan Oral
Bunyi bahasa dapat dibedakan menjadi nasal (segau) dan oral. Pembedaan ini didasarkan pada keluarnya atau disertainya udara melalui rongga hidung.
a.       Apabila udara keluar atau disertai keluarnya udara melalui rongga hidung, dengan cara menurunkan langit-langit lunak beserta ujung anak tekaknya, maka bunyi itu disebut bunyi nasal atau sengau.
b.      Apabila langit-langit lunak  beserta ujung anak tekak menaik menutupi rongga hidung sehingga udara hanya melalui rongg mulut saja, maka bunyi yang dihasilkan disebut bunyi oral.
3.      Keras (Fortes) dan Lunak (Lenes)
Bunyi bahasa dibedakan atas bunyi keras (fortes) dan lunak (Lenes). Perbedaan ini didasarakan pada ada tidaknya ketegangan kekuatan arus udara pada waktu bunyi itu diartikulasikan. Bunyi bahasa disebut keras bila pada waktu diartikulasiakan disertai ketegangan kekuatan arus udara. Jika tidak disertai ketegangan kekuatan arus udara disebut bunyi lunak.

4.      Bunyi Panjang dan Pendek
Bunyi bahasa dibedakan atas bunyi panjang dan pendek. Perbedaan ini didasarakan pada lamanya bunyi itu diucapkan, atau lamanya bunyi itu diartikulasaikan.
5.      Bunyi Rangkap dan Tunggal
Bunhi dibedakan atas bunyi rangkap (padu, ganda) dan tunggal.
a.       Bunyi rangkap adalah bunyi yang terdiri dari dua bunyi dan terdapat dalam suatu suku kata.
b.      Jika terdapat dalam dua suku kata yang berbeda bukan bunyi rangkap melainkan bunyi tunggal saja.
Bunyi rangkap vokal disebut diftong, sedangkan bunyi tunggal vokal disebut monoftong. Ciri diftong ialah keadaan posisi lidah dalam mengucapkan bunyi vokal yang satu dengan yang lain salig berbeda. Diftong dibedakan atas diftong naik dan diftong turun.
6.      Bunyi Nyaring dan Tidak Nyaring
a.       Vokal
Bunyi dibedakan atas bunyi nyaring (lantang) dan tidak nyaring pada waktu terdengar oleh telinga. Jadi pembedaan bunyi berdasarkan derajat kenyaringan itu sebenarnya adalah tinjauan menurut aspek auditoris. Derajat kenyaringan itu sendriri ditentukan oleh luas sempitnya atau besar kecilnya resonansi pada waktu bunyi itu diucapkan. Makin luas resonansi saluran bicara yang dipakai pada waktu membentuk bunyi bahasa makin tinggi derajat kenyaringannya. Sebaliknya, semakin sempit ruang resonansinya makin rendah derajat kenyaringannya. Diantara vokal-vokal maka vokal yang paling tinggi justru derajat kenyaringan (kalantangan, sonorotas)-nya paling rendah. Karena ruang resonansinya pada waktu diucapkan paling sempit jika dibandingkan dengan muka lain. Semakin kebawah derajat kenyaringan untuk vokal itu berturut-turut dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi ialah : vokal tertutup, vokal semi tertutup (semi terbuka), vokal terbuka.
b.      Konsonan
Dibandingkan dengan vokal, bunyi-bunyi konsonan karena terbentuknya disertai dengan hambatan alat bicara pada saluran bicara sebagian ruang resonansi, maka derajat kenyaringannya lebih rendah. Konsonan letup tak bersuara adalah yang paling rendah sedangkan yang paling tinggi adalah konsonan geletar. Derajat kenyaringan untuk konsonan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi berturut-turut adalah sebagai berikut: konsonan letup tak bersuara, geseran tak bersuara, letup bersuara, geseran bersuara, nasal, sampingan, dan geletar.


7.      Bunyi dengan Arus Udara Egresif dan Bunyi dengan Arus In-gresif
Arah arus udara dalam pembentukan bunyi bahasa dapat dibedakan atas egresif dan in-gresif. Dalam kebanyakan bunyi bahasa, pembentukan bunyi itu dilaksanakan dengan arus udara keuar dari paru-paru, arus udara demikian disebut egresif. Namun, dalam bahasa-bahasa tertentu dapat juga bunyi itu terbentuk dengan arah udara masuk kedalam paru-paru, jika demikian arah udara itu disebut in-gresif. Arus udara egresif dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu egrsif pulmonik dan egresif glotalik. Begitu juga arus udara in-gresif dapatdibagi menjadi dua yaitu, in-gresif glotalik dan in-gresif velarik.
a.       Egresif pulmonik adalah bunyi yang terbentuk dengan arus udara egresif (keluar) dengan mekanisme pulmonik. Mekanisme udara pulmonik ialah udara dari paru-paru sebagai sumber utamanya dihembuskan keluar dengan cara mengecilkan ruangan paru-paru, otot perut dan rongga dada.
b.      Egresif glotalik adalah bunyi yang terbentuk dengan arus udara egresif (keluar) dengan mekanisme glotalik. Mekanisme glotalik terjadi dengan cara merapatkan pita-pita suara sehingga glotis dalam keadaan tertutup rapat sekali.
c.       Ingresif glotalik adalah bunyi bahasa yang terbentuk dengan arus udara ingresif (masuk) dengan mekanisme glotalik. Bunyi dengan arus udara ingresif mekanisme glotalik ini mungkin secara sempurna prosesnya sama dengan egresif glotalik diatas. Jadi, merapatkan pita-pita suara sehingga glotis tertutup rapat sekali.Hanya bersama-sama dengan itu rongga pangkal tenggorok yang disempitkan itu diturunkan tidak dinaikan, kemudian udara masuk.
d.      Ingresif velarik adalah bunyi bahasa yang terbentuk dengan arus udara ingresif (masuk) dengan mekanisme velarik.mekanisme udara velarik terjadi dengan menaikkan pangkal lidah ditempelkan pada langit-langit lunak. Bersama-sama dengan itu kedua bibir ditutup rapat kemudian ujung lidah dan kedua sisi lidah merapat pada gigi atau gusi dalam itu dilepaskan turun serta dikebelakangkan, bibir dibuka sehingga ada kerenggangan ruangan udara pada rongga mulut. Dengan demikian memungkinkan udara luar untuk mesuk.

H. Alat Ucap   
            Dalam fonetik artikulatoris hal pertama yang harus dibacarakan adalah alat ucap manusia untuk menghasilkan bunyi bahasa. Sebetulnya alat yang digunakan untuk menghasilkan bunyi bahasa ini mempunyai fungsi utama lain yang bersifat biologis. Misalnya, paru – paru untuk bernafas, lidah untuk mengecap, dan gigi untuk mengunyah. Namun, secara kebetulan alat – alat itu diinginkan juga untuk berbicara. Kita perlu mengenal nama – nama alat – alat itu untuk bisa memahami bagaiamana bunyi bahasa itu diproduksi; dan nama – nama bunyi itu pun diambil dari nama – nama alat ucap itu. Untuk mengenal alat – alat ucap itu, perhatikan bagan berikut, dan perhatikan
-  Paru - paru
-  Batang tenggorokan (trachea)
-  Pangkal tenggorokan (larynx)
-  Pita suara (vokal cord)
-  Krikoid (cricoid)
-  Tiroid (thyroid) atau lekun
-  Aritenoid (arythenoid)
-  Dinding rongga kerongkongan (wall of pharynx)
-  Epiglotis (epiglottis)
-  Akar lidah (root of tongue)
Pangkal lidah (back of the tongue, dorsum)
-  Tengan lidah (middle of the tongue, medium)
-  Daun lidah (blade of the tongue, laminum)
-  Ujung lidah (tip of the tongue, apex)
-  Anak tekak (uvula)
-  Langit – langit linak (soft palate, velum)
-  Langit – langit keras (hard palate, palatum)
-  Gusi, lengkung kaki gigi (alveolum)
-  Gigi atas (upper teeth, dentum)
-  Gigi bawah (lower teeth, dentum)
-  Bibir atas (upper lip, labium)
-  Bibir bawah (lower lip, labium)
-  Mulut (mouth)
-  Rongga mulut (aral cavity)
-  Rongga hidung (nasal cavity)

PENGARUH BUNYI, TRANSKRIPSI DAN TRANSLITERASI

A.    Pengaruh-mempengaruhi Bunyi
Dalam hal pengaruh-mempengaruhi bunyi dapat ditijau dari dua segi, yaitu akibat dari pengaruh- mempengaruhi bunyi itu dan tempat artikulasi yang manakah yang mempengaruhi.Akibat dari pengaruh-mempengaruhibunyi disebut proses asimilasi. Sedangkan tempat artikulasi yang mana yang mempengaruhi disebut artikulasi penyerta (ko-artikulasi sekunder).
1) Proses Asimilasi                                                                
Proses asimilasi di sini terbatas pada asimilasi fonetis saja, yaitu pengaruh-mempengaruhi bunyi tanpa mengubah identitas fonem. Menurut arahnya, asimilasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a.      Asimilasi progresif
Asimilasi progresif terjadi bila arah pengaruh bunyi itu ke depan. Seperti perubahan bunyi [t] yang biasanya dalam bahasa Indonesia dan Jawa diucapkan secara apiko-dental, tetapi dalam kata stasiun, letup [t] itu diucapkan secara lamino-alveolar. Perubahan letup apiko-dental [t] menjadi letup lamino-alveolar [t], karena pengaruh secara progresif dari bunyi geseran lamino-alveolar [s].
b.      Asimilasi regresif
Asimilasi regresif terjadi bila arah pengaruh bunyi itu ke belakang. Seperti perubahan bunyi [n] yang biasanya dalam bahasa Indonesia dan Jawa diucapkan secara apiko-alveolar, tetapi dalam kata pandan, nasal sebelum [ḍ] itu diucapkan secara apiko-palatal. Perubahan nasal ] karena pengaruh secara*apiko-alveolar [n] menjadi nasal apiko-palatal [n regresif dari bunyi letup palatal [ḍ]. Dengan demikian tulisan fonetis untuk pandan dalam bahasa Indonesia ialah [panḍan] dan dalam bahasa Jawa ialah [pandhan].
2) Artikulasi Penyerta
Bunyi [k] dalam kata kucing (dalam bahasa Indonesia /Jawa) dengan [k] dalam kata kijang (bahasa Indonesia) atau kidang (bahasa Jawa) berbeda; walaupun menurut biasanya atau menurut artikulasi primernya sama, yaitu merupakan bunyi dorso-velar yang dibentuk dengan artikulasi pangkal lidah dan langit-langit lunak. Perbedaan itu disebabkan oleh adanya artikulasi penyerta (ko-artikulasi atau artikulasi sekunder) bunyi vokal yang langsung mengikutinya (cf. Bloch & George, 1942:29; Samsuri, 1978:119).

Berdasarkan tempat artikulasinya, maka proses pengaruh bunyi karena artikulasi penyerta dapat dibagi menjadi:
1)      Labialisasi
Labialisasi adalah pembulatan bibir pada artikulasi primer, sehingga terdengar bunyi [w] pada bunyi utama tersebut. Kecuali bunyi labial dapat disertai labialisasi. Bunyi [t] dalam kata tujuan (dalam bahasa Indonesia atau Jawa Misalnya, terdengar sebagai [w] [tw]  dilabialisasi).

2)      Retrofleksi
Retrofleksi adalah penarikan ujung lidah ke belakang pada artikulasi primer, sehingga terdengar bunyi [r] pada bunyi utamanya. Kecuali apikal, bunyi dapat disertai retrofleksi. Misalnya [k] diretrofleksi dalam kata kerdus.

3)      Palatalisasi
Palatalisasi adalah pengangkatan daun lidah ke arah langit-langit keras pada artikulasi primer. Kecuali bunyi palatal dapat disertai  palatalisasi. Bunyi [p] dalam kata piara (bahasa Indonesia/Jawa) misalnya, terdengar sebagai [py] [p] dipalatalisasi.
4)      velarisasi
Velarisasi adalah pengangkatan pangkal lidah ke arah langit-langit lunak pada aretikulasi primer. Selain bunyi velar bunyi-bunyi dapat divelarisasi. Bunyi [m] dalam kata makhluk (bahasa Indonesia) misalnya, terdengar sebagai [mx] [m] divelarisasi.
5)      Glotalisasi
Glotalisasi adalah proses penyerta hambatan pada (glotis tertutup rapat) sewaktu artikulasi primer diucapkan. Selain bunyi glotal dapat disertai glotalisasi. Vokal pada awal kata dalam bahasa Indonesia dan Jawa sering diglotalisasikan. Misalnya, dalam bahasa Indonesia kata akan diucapkan [?akan] dan [?obat].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar