Kamis, 31 Desember 2015

KETAKSAAN (AMBIGUITAS)



KETAKSAAN (AMBIGUITAS)
Ketaksaan (ambiguitas) dapat timbul dalam berbagai variasi tulisan atau tuturan. Sehubungan dengan ketaksaan ini Kempson (1977) yang dikutip oleh Ullmann (1976) dalam Djajasudarma (1993) menyebutkan tiga bentuk utama ketaksaan, ketiganya berhubungan dengan fonetik, gramatikal, dan leksikal. Ketaksaan ini muncul bila kita sebagai pendengar atau pembaca sulit untuk menangkap pengertian yang kita baca, atau yang kita dengar.
Berikut akan dibahasa ketiga jenis ketaksaan yang disebutkan terdahulu, yaitu ketaksaan fonetis, ketaksaan gramatikal, dan ketaksaan leksikal.

1. Ketaksaan Fonetis
Ketaksaan pada tataran fonologi (fonetik) muncul akibat berbaurnya bunyi-bunyi bahasa yang dilafalkan. Kata-kata yang membentuk kalimat bila dilafalkan terlalu cepat, dapat mengakibatkan keragu-raguan akan maknanya. Mis., [beruang] 'mempunyai uang' atau ‘nama binatang’; di dalam bahasa Inggris a near (nomina) 'sebuah ginjal' atau ‘sebuah telinga'; di dalam bahasa Sunda pigeulisna ‘giliran cantiknya' atau pigeu lisna ‘bisu Lisna'.
Ketaksaan fonetik ini terjadi pada waktu pembicara melafalkan ujarannya. Seorang kapten pesawat terbang dapat merasa ragu, apakah fifteen ataukah fifty, yang dapat membahayakan pesawat dan seluruh awaknya, serta penumpangnya. Oleh karena itu, untuk menghindari ketaksaan, si pendengar memohon kepada pembicara untuk mengulangi apa yang diujarkannya.

2. Ketaksaan Gramatikal
Ketaksaan gramatikal muncul pada tataran morfologi dan sintaksis. Dengan demikian, ketaksaan gramatikal ini dapat dilihat dengan dua alternatif. Pertama, ketaksaan yang disebabkan oleh peristiwa pembentukan kata secara gramatikal. Misalnya, pada tataran morfologi (proses morfemis) yang mengakibatkan perubahan makna, prefiks peN-+pukul : pemukul bermakna ganda: 'orang yang memukul' atau 'alat untuk memukul'. Alternatif kedua adalah ketaksaan pada frasa yang mirip. Setiap kata membentuk frasa yang sebenarnya sudah jelas, tetapi kombinasinya mengakibatkan maknanya dapat diartikan lebih dari satu pengertian. Misalnya, di dalam bahasa Indonesia, frase orang tua dapat bermakna ganda 'orang yang tua' atau 'ibu-bapak', demikian pula kalimat "Tono anak Tata sakit." dapat menimbulkan ketaksaan sehingga memiliki alternatif:
1. Tono, anak Tata, sakit (Tono yang sakit)
2. Tono, anak, Tata, sakit (tiga orang yang sakit)
3. Tono! anak Tata sakit (Anak Tata sakit) dst.

3.  Ketaksaan Leksikal
Setiap kata dapat bermakna lebih dari satu, dapat mengacu pada benda yang berbeda, sesuai dengan lingkungan pemakaiannya. Misalnya, kata bang mungkin mengacu kepada 'abang' atau 'bank', bentuk seperti itu dikatakan polyvalency yang dapat dilihat dari dua segi, polisemi dan homonimi. Segi pertama polisemi, Breal di dalam Ullmann (1976), misalnya, kata haram di dalam bahasa Indonesia bisa bermakna:
1. terlarang, tidak halal
Haram hukumnya apabila makan daging bangkai.
2. suci, tidak boleh dibuat sembarangan
Tanah haram atau masjidilharam di Mekah adalah tempat paling mulia di atas
bumi.
3. sama sekali tidak, sungguh-sungguh
Tidak selangkah haram aku surut.
4. terlarang oleh undang-undang, tidak sah
PKI dan DI dinyatakan haram oleh pemerintah.
5. haramjadah
Anak haram jadah atau anak jadah adalah anak yang lahir di luar nikah atau anak yang tidak sah.

PENTINGNYA MEMPELAJARI MORFOLOGI KEBAHASAAN



PENGERTIAN MORFOLOGI

Morfologi dalam bahasa Indonesia dapat dipakai istilah morfologis atau morfemis, yaitu termasuk dalam bidang yang membahas morfem-morfem bahasa. Menurut Tarigan (1995: 45) morfologi dapat dibagi menjadi dua tipe analisis, yaitu: (1) morfologi sinkronik, dan (2)
 morfologi diakronik.
Morfologi sinkronik menelaah morfem-morfem bahasa dalam satu cakupan waktu tertentu, baik waktu lampau ataupun waktu kini. Pada hakekatnya, morfologi sinkronik adalah suatu analisis linier, yang mempertanyakan apa-apa yang merupakan komponen leksikal dan komponen sintaktik kata-kata, dan bagaimana caranya komponen-komponen tersebut menambahkan, mengurangi, atau mengatur kembali dirinya di dalam berbagai ragam konteks. Morfologi sinkronik tidak ada sangkut-pautnya atau tidak menaruh perhatian pada sejarah atau asal-usul kata dalam bahasa. Yang menjadi garapan morfologi sinkronik adalah:
(1) morfem leksikal dan morfem sintaktik,
(2) morpem bebas dan morfem terikat, dan
(3) morfem dasar dan morfem imbuhan.
Setiap orang yang menaruh perhatian besar terhadap kata dan morfem beserta maknanya, mau tak mau harus menelusuri masalah sinkronik dan diakronik. Namun demikian kajian pada bahan belajar ini akan dibatasi pada morfologi sinkronik saja.
Morfologi (atau tata bentuk, Inggr. Morphology) adalah bidang linguistik yang mempelajari susunan bagian-bagian kata secara gramatikal ( Verhaar, J.W.M., 1983: 52). Ramlan (1983: 16-17) mengemukakan bahwa morfologi ialah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan selukbeluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata; atau morfologi mempelajari seluk beluk bentuk kata serta fungsinya perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik.
Dari pengertian morfologi di atas dapat diambil satu contoh analisis morfologis bentuk ajar
yang dapat menghasilkan banyak kata lain yang golongan (kategori) dan arti katanya berbeda, seperti: belajar, pelajar, pelajaran, pengajar, pengajaran, mengajar, mengajarkan, mengajari, mempelajari, diajar, diajarnya, diajarkan, diajari, kauajar, dst. Coba diskusikan dengan teman
Dari pengertian morfologi yang dikemukakan di atas dapat disebutkan bahwa objek yang lazim disebut morfologi itu adalah pembentukan kata, pengaruh pembentukan kata terhadap golongan kata, dan pengaruh pembentukan kata terhadap arti kata. Dalam pembentukan kata, kita harus mengingat-ingat kembali tentang bentuk asal dan bentuk dasar, berbagai imbuhan atau afiks, kata ulang, dan kata majemuk. Perhatikan kalimatkalimat di bawah:
1. Ia lari cepat.
2. Anak itu berlari-lari.
3. Baju itu bagus.
4. Ia berbaju biru.
5. Anak itu menjalani operasi plastik.
Kalimat pertama terdiri dari atas kata yang masing-masing satu morfem, yaitu: ia, satu morfem, lari, satu morfem, cepat, satu morfem. Kalimat kedua terdiri atas tiga kata, yaitu:
anak, satu morfem, itu, satu morfem, berlari-lari, tiga morfem yang tebentuk dari:
ber-, satu morfem sebagai morfem afiks, berlari, satu morfem sebagai bentuk dasar dari berlari-lari, dan lari yang kedua, satu morfem sebagai morfem ulang. Kalimat ketiga terdiri atas tiga kata yang masing-masing satu morfem, yaitu: baju, satu morfem, itu, satu morfem, dan bagus, satu morfem. Kalimat keempat terdiri atas tiga kata, yaitu: ia, satu morfem, berbaju, dua morfem, adalah: ber-, satu morfem, sebagai morfem afiks baju, satu morfem sebagai bentuk asal biru, satu morfem Kalimat kelima terdiri atas empat kata, yaitu: anak, satu morfem, itu, satu morfem, menjalani, tiga morfem, yang terbentuk dari: meN-, satu morfem sebagai morfem afiks, jalan, satu morfem sebagai morfem bentuk asal, dan -i, satu morfem sebagai morfem afiks. operasi plastik, dua morfem, adalah: operasi, satu morpem, plastik, satu morfem.
Jika kita memperhatikan bentuk kata baju pada kalimat Baju itu bagus, dengan kata berbaju pada kalimat Ia berbaju biru. Golongan kata baju termasuk kata nominal (kata benda), sedangkan kata berbaju termasuk kata verbal (kata kerja). Perubahan golongan kata ini disebabkan adanya perubahan bentuk kata. Di bidang arti, kata-kata lari, berlari, dan berlari-lari semuanya mempunyai arti yang berbeda-beda. Begitu juga kata-kata buah, berbuah, buah-buahan, dan buah tangan memiliki arti yang berbeda. Hal ini disebabkan dari perubahan bentuk kata.

KLASIFIKASI MORFEM




KLASIFIKASI MORFEM

1. Morfem Tunggal dan Kompleks
Tentu kita telah memahami bahwa satuan sepatu bila dibandingkan dengan bersepatu, bersepatu hitam, Ia membeli sepatu dari toko, ternyata ada perbedaannya. Satuan sepatu tidak mempunyai satuan yang lebih kecil, sedangkan bersepatu terdiri dari satuan ber- dan sepatu; bersepatu hitam, terdiri dari satuan ber-, sepatu, dan hitam; serta satuan Ia membeli sepatu dari toko terdiri dari satuan ia, meN-, beli, sepatu, dari, dan toko. Satuan-satuan ber-, sepatu, hitam, ia, meN-, beli, dari, dan toko, masing-masing merupakan morfem tunggal, sedangkan satuan-satuan bersepatu, bersepatu hitam, Ia membeli sepatu dari toko, merupakan morfem kompleks.

2. Morfem Bebas dan Terikat
Dalam pembicaraan contoh morfem meN-, peN-, ber-, dan di-, sebenarnya telah diperlihatkan jenis morfem berdasarkan banyaknya alomorf yang menyatakannya. Morfem dihanya memiliki satu alomorf sedangkan morfem meN-, morfem peN-, dan morfem ber-masing-masing beralomorf lebih dari satu.
Morfem dapat digolongkan menurut kemungkinannya berdiri sendiri sebagai kata, bahkan sebagai kalimat jawaban atau perintah, juga ada morfem yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai kata. Dengan kata lain, dalam tuturan biasa satuan-satuan gramatik itu ada yang dapat berdiri sendiri dan ada yang tidak dapat berdiri sendiri, melainkan selalu terikat pada satuan lain. Satuan pohon, termasuk satuan yang dapat berdiri sendiri dan bisa sebagai jawaban pertanyaan Engkau sedang menggambar apa?; Engkau menebang apa?; dan sebagainya. Satuan meN-, peN-, ber-, di-, ternyata tidak dapat berdiri sendiri dalam tuturan biasa, melainkan selalu terikat pada satuan lain, misalnya terikat pada jual, menjadi menjual, penjual, berjual (an), dijual. Satuan-satuan yang semacam itu, yang selalu terikat pada satuan lain, di antaranya ter-, per-, -kan, -an, -i, ke-an, per-an. Satuan-satuan gramatik seperti itu disebut satuan gramatik terikat atau morfem terikat, sedangkan satuan gramatik yang dapat berdiri sediri dalam tuturan biasa, disebut satuan gramatik bebas atau morfem bebas.
Hubungan formal bagian-bagian morfem dapat juga digolongkan ke dalam morfem utuh dan
morfem terbagi. Morfem utuh, misalnya ter-, per-, pohon, lihat, pun, dsb. yang bagian-bagian
pembentuknya (fonem-fonem) bersambungan, sedangkan morfem terbagi, misalnya ke-an dan per-an, yang bagian-bagian pembentuknya tidak bersambungan. Morfem ke-an merupakan satu morfem, bukan merupakan penjumlahan dari dua morfem, ke- dan –an; demikian juga morfem per-an bukan morfem per- ditambah morfem –an, melainkan satu morfem saja. Kata kemanusiaan, misalnya, tidak dapat diuraikan menjadi morfem kemanusia* ditambah morfem an, maupun menjadi morfem ke- ditambah morfem manusiaan*. Kata kemanusiaan terdiri dari dari dua morfem, yaitu morfem manusia dan morfem ke-an.
Tentu kita telah mengenal dan memahami bahwa morfem terikat itu adalah morfem yang tidak dapat berdiri sendiri, baik dalam tuturan biasa maupun secara gramatik, misalnya satuansatuan ber-, ter-, meN-, per-, -kan, -an, -i, ke-an, per-an, dan sebagainya. Satuan atau morfem-morfem tersebut bersama satuan lain membentuk satuan kata, misalnya morfem ber- bersama dengan morfem jalan membentuk kata berjalan; ter- bersama dengan pandai membentuk kata terpandai; meN- bersama dengan beli membentuk kata membeli; dan sebagainya. Proses morfologis di atas adalah proses pengimbuhan atau afiksasi (penambahan afiks). Penambahan afiks dapat dilakukan di depan disebut awalan atau prefiks, di tengah disebut sisipan atau infiks, di belakang disebut akhiran atau sufiks, dan di depan dan belakang disebut apitan, sirkumfiks, atau konfiks. Contohnya adalah sebaai berikut:
Prefiks : berkata
terasing
merasa
perasa
sebatang

Infiks : gerigi
gemuruh
telunjuk

Sufiks : tulisi
tulisan
lemparkan

Sirkumfiks : kemanusiaan
(Konfiks) keadaan
Satuan-satuan ku, mu, nya, kau, isme, dsb. dalam tuturan biasa tidak dapat berdiri sendiri,
dan secara gramatik tidak mempunyai kebebasan. Satuan-satuan itu termasuk golongan satuan terikat atau morfem terikat. Perbedaannya dengan satuan-satuan ber-, ter meN-, per-, -kan, dan sebagainya, bahwa satuan ku, mu, nya, dan sebagainya itu tidak memiliki arti leksikal. Oleh karena itu, satuan-satuan seperti ku, mu, nya, dan sebagainya, tidak dapat dimasukkan ke dalam golongan afiks, tetapi termasuk golongan klitik. Klitik dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu proklitik dan enklitik. Proklitik ialah klitik yang terletak di muka, sedangkan enklitik, yaitu klitik yang terletak di belakang.
Contohnya:
Proklitik ku : kubeli
kulempar
kubawa
kau : kaubeli
kaulempar
kaubawa
Enklitik ku : rumahku
badanku
milikku
nya : rumahnya
badannya
miliknya
isme : sukuisme
sosialisme
patriotism
Ada satuan-satuan lain yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tuturan biasa, dan secara gramatik tidak memiliki sifat bebas. Akan tetapi satuan-satuan itu tidak dapat dimasukkan ke
dalam golongan afiks ataupun klitiks, karena satuan-satuan itu mempunyai sifat-sifat tersendiri, yaitu dapat dijadikan bentuk dasar. Atau dengan kata lain satuan-satuan itu merupakan morfem dasar yang terikat. Misalnya satuan cantum dalam tercantum, mencantumkan, dicantumkan; satuan juang dalam berjuang, pejuang, perjuangan, memperjuangkan; satuan giur dalam tergiur, menggiurkan; dan sebagainya. Satuan-satuan seperti di atas merupakan golongan tersendiri, yang di sini disebut pokok kata. Berikut ini beberapa contoh morfem dasar yang terikat (Kushartanti, 2005: 152), atau golongan pokok kata (Ramlan, 1983: 26) ialah aju, elak, genang, huni, imbang, jelma, jenak, kitar, lancong, paut, alir, sandar, baca, ambil, jabat, main, rangkak.

UNSUR SEMANTIK





Unsur Semantik
1. Tanda dan Lambang (simbol)
Tanda dan lambang (simbol) merupakan dua unsur yang terdapat dalam bahasa. Tanda dan lambang (simbol) dikembangkan menjadi sebuah teori yang dinamakan semiotik. Semiotik mempunyai tiga aspek yang sangat berkaitan dengan ilmu bahasa, yaitu aspek sintaksis, aspek semantik, dan aspek pragmatik. Ketiga aspek kajian semiotik ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, aspek sintaksis, sintaksis semiotik merupakan studi tentang relasi yang sering kali tertuju pada pencarian peraturan-peraturan yang pada dasarnya berfungsi secara bersama-sama. Sintaksis semiotik tidak dapat membatasi diri dengan hanya mempelajari hubungan antartanda dalam suatu sistem yang sama. Sejauh perhatian utama kita ditujukan pada hubungan antartanda, maka kita bergerak dalam bidang sintaksis semiotik. Kedua, aspek semantik, semantik semiotik merupakan penelitian yang tertuju pada hubungan antara tanda dan denotatumnya, dan interpretasinya. Ketiga, aspek pragmatik, jika yang menjadi objek penelitian adalah hubungan antara tanda dan pemakaian tanda, maka kita memasuki bidang pragmatik semiotik. Lebih singkat Djajasudarma (1993) menjelaskan tiga aspek semiotik yaitu semantik berhubungan dengan tanda-tanda; sintaktik berhubungan dengan gabungan tanda-tanda (susunan tanda-tanda); sedangkan pragmatik berhubungan dengan asal-usul, pemakaian, dan akibat pemakaian tanda-tanda di dalam tingkah laku berbahasa. Peletak dasar teori semiotik yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Saussure sebagai bapak ilmu bahasa modern menggunakan istilah semiologi, sedangkan Peirce, seorang ahli filsafat memakai istilah semiotik.
Kata semiotik berasal dari kata Yunani semeion, yang berarti ‘tanda’, maka semiotik berarti ‘ilmu tanda’. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajiaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (van Zoest, 1993: 1). Selanjutnya, semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Hoed, 1992 dalam Nurgiyantoro, 2000). Menurut Sobur (2001), semiotik merupakan suatu model dari ilmu pengetahuan sosial yang memahami dunia
sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan “tanda”. Dengan demikian, semiotik mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. Menurut Luxemburg dkk (1989), semiotik (kadang-kadang dipakai istilah semiologi) ialah ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, sistem-sistem lambang dan proses-proses pelambangan. Pengertian lain, semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda yang menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Preminger, 2001 dalam Sobur, 2001).
Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Jadi, yang dapat menjadi tanda sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal yang melingkupi kehidupan ini, walau harus diakui bahwa bahasa adalah sistem bahasa yang paling lengkap dan sempurna (Nurgiyantoro, 2000: 40). Proses perwakilan disebut semiosis. Semiosis adalah suatu proses di mana suatu tanda berfungsi sebagai tanda, yaitu mewakili sesuatu yang ditandainya (Hoed, 1992 dalam Nurgiyantoro, 2000). Menurut Peirce ada tiga faktor yang menentukan adanya sebuah tanda, yaitu tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan sebuah tanda baru yang terjadi dalam batin si penerima (Luxemburg dkk, 1989). Jadi, ada tiga unsur yang mentukan tanda, yaitu tanda yang dapat ditangkap sendiri, yang ditunjuknya, dan tanda baru dalam benak si penerima. Antara tanda dan yang ditunjuknya terdapat relasi, tanda mempunyai sifat interpretatif. Dengan perkataan lain, representasi dan interpretasi merupakan ciri khas tanda (van Zoest, 1993: 14-15).
Peirce membedakan hubungan antara tanda dengan acuannya ke dalam
tiga jenis hubungan, yaitu (1) ikon, jika berupa hubungan kemiripan; (2) indeks,
jika berupa hubungan kedekatan eksistensi; dan (3) simbol, jika berhubungan
yang sudah terbentuk secara konvensi (Abrams, 1981; van Zoest, 1992; dalam
Nurgiyantoro, 2000: 42).
Tanda dapat digolongkan berdasarkan penyebab timbulnya, seperti yang diungkapkan Djajasudarma (1993) sebagai berikut.
 1. tanda yang ditimbulkan oleh alam, diketahui manusia karena pengalaman,
                misalnya:
- Hari mendung tanda akan hujan,
- Hujan terus-menerus dapat menimbulkan banjir,
- Banjir dapat menimbulkan wabah penyakit dan kelaparan, dan sebagainya.
2. tanda yang ditimbulkan oleh binatang, diketahui manusia dari suara binatang tersebut, misalnya:
- Anjing menggonggong tanda ada orang masuk halaman,
- Kucing bertengkar (mengeong) dengan ramai suaranya tanda ada wabah atau keributan, dan sebagainya.
3. tanda yang ditimbulkan oleh manusia, tanda ini dibedakan atas: (1) yang bersifat    verbal adalah tanda yang dihasilkan manusia melalui alat-alat bicara
(organ of speach) dan (2) tanda yang bersifat nonverbal, digunakan manusia
untuk berkomunikasi, sama halnya dengan tanda verbal. Tanda nonverbal
dapat dibedakan atas:
a. tanda yang dihasilkan anggota badan (body gesture) dikenal sebagai
bahasa isyarat, misalnya:
- Acungan jempol bermakna hebat, bagus, dan sebagainya.
- Mengangguk bermakna ya, menghormat, dan sebagainya.
- Menggelengkan kepala bermakna tidak, bukan, dan sebagainya.
- Membelalakkan mata bermakna heran, marah, dan sebagainya.
- Mengacungkan telunjuk bermakna tidak mengerti, setuju, dan
sebagainya.
- Menunjuk bermakna itu, satu orang, dan sebagainya.
b. tanda yang dihasilkan melalui bunyi (suara), misalnya:
- Bersiul bermakna gembira, memanggil, ingin kenal, dan sebagainya.
- Menjerit bermakna sakit, minta tolong, ada bahaya, dan sebagainya.
- Berdeham (batuk-batuk kecil) bermakna ada orang ingin kenal, dan sebagainya.
2. Makna Leksikal dan Hubungan Referensial
Unsur leksikal adalah unit terkecil di dalam sistem makna suatu bahasa dan dapat dibedakan dari unit kecil lainnya. Sebuah leksem merupakan unit abstrak yang dapat terjadi dalam bentuk-bentuk yang berbeda dalam kenyataan kalimat, dianggap sebagai leksem yang sama meskipun dalam bentuk infleksi. Makna leksikal merupakan unsur tertentu yang melibatkan hubungan antara makna kata-kata yang siap dianalisis. Makna leksikal dapat berupa categorematical dan syncategorematical, yaitu semua kata dan infleksi, kelompok alamiah dengan makna struktural yang harus didefinisikan (dimaknai) dalam satuan konstruksi.
Hubungan referensial adalah hubungan yang terdapat antara sebuah kata dan dunia luar bahasa yang diacu oleh pembicaraan. Hubungan antara kata (lambang), makna (konsep atau reference) dan sesuatu yang diacu atau referent adalah hubungan tidak langsung. Hubungan yang terjadi antara ketiga unsur tersebut, dapat digambarkan melalui apa yang disebut dengan segi tiga semiotik (semiotic triangle) dari Ogden & Richards (1972); Palmer (1976) sebagai berikut.  (sumber Djajasudarma, 1993: 24)



3. Penamaan
Istilah penamaan, diartikan Kridalaksana (1993), sebagai proses pencarian lambang bahasa untuk menggambarkan objek konsep, proses, dan sebagainya; biasanya dengan memanfaatkan perbendaharaan yang ada; antara lain dengan perubahan-perubahan makna yang mungkin atau dengan penciptaan kata atau kelompok kata. Nama merupakan kata-kata yang menjadi label setiap makhluk, benda, aktivitas, dan peristiwa di dunia. Anak-anak mendapat kata-kata dengan cara belajar, dan menirukan bunyi-bunyi yang mereka dengar untuk pertama kalinya. Nama-nama itu muncul akibat dari kehidupan manusia yang kompleks dan beragam, alam sekitar manusia berjenis-jenis. Kadang-kadang manusia sulit memberikan nama satu per satu. Oleh karena itu, muncul nama-nama kelompok, misalnya, binatang, burung, ikan, dan sebaginya, dan tumbuh-tumbuh yang jumlahnya tidak terhitung yang merupakan jenis binatang, jenis tumbuhan, jenis burung, dan jenis-jenis yang lain yang terdapat di dunia (Djajasudarma, 1993). Penamaan suatu benda di setiap daerah atau di lingkungan kebudayaan tertentu tidak semuanya sama, misalnya: padi bahasa Indonesia pare bahasa Sunda pale bahasa Gorontalo.