BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Masalah
Dalam
perjalanan sejarah manusia, pemikiran filosofis senantiasa berkembang. Hal itu
dikarenakan pemikiran merupakan hal yang paling mendasar dalam kehidupan
manusia, bahkan merupakan ciri khas manusia. Hal tersebut tentunya tidak
terlepas dari anugerah akal yang dimiliki oleh manusia. Pemikiran filosofis
meniscayakan kelahiran filsafat sebagai induk dari semua ilmu. Di antara corak
pemikiran manusia adalah pengetahuan tentang wujud, awal bermulanya hingga
akhirnya. Oleh karena itu, buah pemikiran dari manusia melahirkan berbagai
macam aliran dalam filsafat yakni, aliran empirisme, rasionalisme, idealisme,
pragmatisme, eksistensialisme, positivisme, vitalisme, strukturalisme,
post-strukturalisme dan lain-lain.
Selain itu, permasalahan yang menjadi objek kajian (pembahasan) dalam filsafat
mengalami perkembangan yang signifikan. Filsafat tidak hanya berhenti pada
permasalahan wujud, tetapi juga merambah pada pembahasan berkenaan dengan ilmu.
Selain itu, filsafat juga menyentuh tataran praktis, terutama berkaitan dengan
moral. Perkembangan tersebut merupakan implikasi logis dari perkembangan pola
pikir manusia itu sendiri. Hal tersebut tidak lain merupakan upaya untuk
menemukan “kebenaran”.
Pencarian terhadap kebenaran seiring dengan tujuan dari filsafat itu sendiri,
yakni untuk mencari kebenaran yang hakiki. Dengan kata lain, mengetahui segala
sesuatu yang ada sebagaimana adanya (problem ontologis). Kemudian, timbul
pertanyaan setelah mencari “Apa itu kebenaran?” yaitu “Bagaimana kita bisa
mendapatkan pengetahuan yang hakiki itu atau sesuatu yang ada sebagaimana
adanya (kebenaran)? Persoalan ini merupakan problem epistemologis. Selanjutnya,
setelah kita mengetahui kebenran dan cara untuk mendapatkannya, muncul
pertanyaan untuk apa pengetahuan tersebut. Dengan kata lain, pemikiran
selanjutnya berkaitan dengan pengaplikasian ilmu yang telah didapatkan pada
tataran praktis. Ini disebut dengan problem aksiologis, artinya apakah ilmu
pengetahuan yang didapat itu bisa diterapkan untuk kemaslahatan umat atau
justru sebaliknya, terutama kaitannya dengan moralitas. Singkatnya, wilayah
ontologi bertanya tentang “apa” wilayah epistemologi bertanya tentang “bagaimana”
sedangkan, wilayah aksiologi bertanya tentang “untuk apa”.
Tiga problem filosofis inilah —ontologi, epistemologi dan aksiologi— yang
hingga kini masih menimbulkan perdebatan. Hal itu dikarenakan masing-masing
aliran filsafat memiliki sudut pandang tersendiri berkaitan dengan ketiga hal
tersebut. Oleh karena itu, pembahasan mengenai Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi topic penting pembahasan penting dalam dunia Filsafat. Hal inilah
yang menjadi alasan bagi penulis untuk mengetengahkan pembahasan tersebut dalam
makalah ini.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang akan di bahas pada makalah ini
adalah :
1.
Bagaimana hubungan filsafat dalam tema?
1.3
Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1.
Untuk mengetahui hubungan
filsafat dalam tema
BAB II
PEMBAHASAN
Filsafat dalam
tema
2.1
Epistemologi
Epistemologi membahas tentang
pengetahuan yang akan didapat manusia sesuai dngan kebutuhannya. Pada
dasarnya manusia selalu ingin tahu tentang
sesuatu dan ia akan mencari tahunya, sehingga dengan demikian pengetahuannya
pun bertambah. Berdasarkan epistemelogi, manusia akan mencari tentang apa saja
batas-batas pengetahuan, bagaimana struktur pengetahuan itu, bagaimana
keabsahannya dan dari mana sumbernya.
Menurut Donny Gahral, epistemologi adalah cabang
filsafat yang mengkaji hakikat pengetahuan khususnya 4 pokok persoalan
pengetahuan seperti keabsahan, struktur, batas dan sumber, seperti yang
dijelaskan di atas. Pengetahuan yang dikaji dari epistemologi adalah
pengetahuan dalam arti seluas-luanya termasuk pengetahuan dalam kehidupan
sehari-hari. Epistemologi juga merupakan dasar dari filsafat ilmu pengetahuan
dalam membagi pengetahuan menjadi pengetahuan ilmiah dan pengetahuan
sehari-hari serta menetukan cara kerja yang tepat untuk memperoleh pengetahuan
ilmiah
epistemologi adalah bidang ilmu
yang membahas pengetahuan manusia, dalam berbagai jenis dan ukuran
kebenarannya. Isu-isu yang akan muncul berkaitan dengan masalah epistemologi
adalah bagaimana pengetahuan itu bisa diperoleh? Jika keberadaan itu mempunyai
gradasi (tingkatan), mulai dari yang metafisik hingga fisik maka dengan
menggunakan apakah kita bisa mengetahuinya? Apakah dengan menggunakan indera
sebagaimana kaum empiris, akal sebagaimana kaum rasionalis atau bahkan dengan
menggunakan intuisi sebagaimana urafa’ (para sufi)? Oleh sebab itu yang perlu
dibahas berkaitan dengan masalah ini adalah tentang teori pengetahuan dan
metode ilmiah serta tema-tema yang berkaitan dengan masalah epistemologi.
Berbicara tentang asal-usul pengetahuan maka ilmu pengetahuan ada yang berasal
dari manusia dan dari luar manusia. Pengetahuan yang berasal dari manusia
meliputi pengetahuan indera, ilmu (akal) dan filsafat. Sedangkan pengetahuan
yang berasal dari luar manusia (berasal dari Tuhan) adalah wahyu. Pembahasan
epistemologi meliputi sumber-sumber atau teori pengetahuan, kebenaran
pengetahuan, batasan dan kemungkinan pengetahuan, serta klasifikasi ilmu
pengetahuan.
1. Sumber-Sumber
Pengetahuan
Salah satu pokok pembahasan epistemologi adalah mengenai sumber-sumber
pengetahuan. Dengan fakultas apa manusia mencapai pengetahuan? Bagaimanakah
nilai pengetahuan yang diperoleh manusia? Sampai batasan mana manusia memeroleh
pengetahuan? Pertanyaan-pertanyaan ini terkait erat dengan sumber-sumber
pengetahuan.
Apa saja sumber-sumber pengetahuan? Murtadha Muththahari mengatakan bahwa
sumber pengetahuan tidak hanya rasio dan hati, melainkan alam dan sejarah.
Sedangkan M. Taqi Mishbah Yazdi lebih menekankan fakultas indriawi dan akal
sebagai sumber pengetahuan. Adapun fakultas hati, dalam mencapai pengetahuan,
merupakan ranah ‘irfan bukan filsafat. Agaknya karena alasan inilah bahwa
fakultas hati (qalb, fu’ad) merupakan pembahasan ‘irfan bukan filsafat, kita
bisa memahami pandangan Yazdi yang tidak begitu menekankan daya hati dalam
epistemologi—yang merupakan cabang filsafat. Ada juga yang menganggap bahwa
sumber pengetahuan yang hakiki (primer) adalah wahyu sedangkan daya-daya lain
lebih sebagai sumber sekunder.
Setidaknya ada tiga sumber pengetahuan yaitu 1) akal; 2) indriawi; dan 3) hati
(intusi, qalb, fu’ad). Adapun wahyu, dalam hal ini wahyu yang dikodifikasikan
dalam bentuk teks (kitab suci), tidak dimasukkan sebagai sumber pengetahuan.
Karena kitab suci merupakan teks, yang akan berbicara ketika seseorang
membacanya, maka pemahaman seseorang atas teks-teks suci tersebut yang
dimasukkan sebagai sumber pengetahuan (Suteja, 2006).
Begitu juga dengan sejarah maupun alam. Sebab alam untuk menyampaikan
pengetahuan membutuhkan penafsiran dari sang pengamat, walaupun struktur
pengetahuan tersebut tidak memisahkan antara sang penahu dengan yang diketahui,
tetap saja ia meniscayakan kemampuan manusia untuk menangkap pengetahuan
tersebut. Alam sebagai alam luaran ditangkap dengan fakultas indriawi, jadi,
pemahaman fakultas indriawi yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan atau
pemahaman atasnyalah yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan.
2.2
Ontologi
Secara etimologi,ontologi berasal dari bahasa yunani
yaitu on atau ontos yg berarti’’ada’’dan logos yg berarti’’ilmu’’.sedangkan
secara terminologi ontologi adalah ilmu tentang hakikat yang ada sebagai yang
ada
(the theory of being qua being) .yang termasuk
dalam pembahsan ontologi adalah fisika ,matematika,dan metafisika.fisika
sebagai tingkatan yang paling rendah,matematika sebagi tingkatan tengah-tengah
sedangkan teologi sebagai tingkatan yang paling tinggi.ontologi juga sering di
indentikan dengan metafisika ,yang juga disebut dengan proto filsafat atau
filsafat yang pertama atau filsafat ketuhanan.pembahasannya meliputi hakikat
sesuatu ,keesaan,persekutuan,sebab dan akibat,substansi dan aksiden,yang tetap
dan berubah, eksistensi dan esensi,keniscayaan dan kerelatifan ,kemungkinan dan
ketidakmungkinan,realita ,malaikat,pahala,surga,neraka,dan dosa
Berbagai macam pandangan tentang
ontologi:
a.monisme
paham ini
menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanya satu
saja,tidak mungki dua.haruslah satu hakikat saja sebagi sumber yang asal,baik
asal berupa materi,ataupun berupa rohani.istilah monisme oleh thomas davidson
disebut dengan block universe .paham ini kemudian terbagi kedalam kedua aliran
yaitu materialisme dan idealisme.materialisme menganggap bahwa yang benar benar
ada hanyalah materi sedangkan roh atau jiwa bukanlah suatu kenyataan yang
berdiri sendiri bahkan iya hanya merupakan akibat saja dari proses gerakan
kebenaran dengan salah satu cara tertentu .sedangkan idealsme yag berarti juga
spiritualisme berarti serba cipta ,sedaang spirtualisme berarti serba
roh.aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beranekaragam itu semua
berasal dari roh (sukma)atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak
berbentuk dan menempati ruang materi atau zat hanyalah satu jenis dari
penjelmaan rohani
b.dualisme
aliran ini berpendapat bahwa benda berdiri
dari dua macam hakikat asal sumbernya ,yaitu hakikat materi dan hakikat
rohani,benda dan ruh ,jasad dan spirit.materi bukan muncul dari ruh dan ruh
bukan muncul dari benda. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu
masing-masing bebas dan berdiri sendiri,sama-sama azali dan abadi hubungan
keduanya menciptakan kehidupan dan alam ini.
c.pluralisme
paham ini berpandangan bahwa segala
macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan
mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata.pluralime dalam
dictionary of philoshopy and religion dikatakan sebagi paham yang menyatakan
bahwa kenyataan alam ini tersusun dari unsur banyak lebih dari satu entitas .
d.nihilisme
nihilsme berasal dari bahasa latin yang
berarti nothing atau tidak ada.sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas
alternative yang positif.doktrin tentang nihilsme sebenarnya sudah ada semenjak
zaman yunani kuno,yaitu pada pandan george dias yang memberikan tiga proporsisi
tentang realitas .pertama,tidak sesuatu yang eksis.realitas itu sebenernya
tidak ada.kedua,bila sesuatu itu ada,iya tidak dapat diketahui.ini disebabkan
oleh pengindraan itu sumber ilusi.akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang
bahan alam semesta ini karena kita telah di kung kung oleh dilema
subjektif.ketiga, sekalipun realitas itu dapat diketahui iya tidak akan dapat
kita beritahukan terhadap orang lain.
e.agnostisime
paham ini mengingkari kesanggupan
manusia untuk mengetahui hakikat benda.baik hakikat materi maupun hakikat
rohani.kata agnostisme berasal dari bahasa yunani yaitu agnostos yang berarti
uknown .A artinya not dan know.timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya
orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri
dan dapat kita kenal.aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu
kenyataan mutlak
Ontologi
merupakan salah satu kajian ke filsafatan yang paling kuno dan berasal dari
yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret.
Hakitkat kenyataan atau realitas bisa didekati ontologi dengan 2 macam sudut
pandang :
a. Kuantitatif,
yaitu dengan mempertannyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak ?
b. Kualitatif,
yaitu mempertanyakan apakah kenyataan ( realitas ) tersebut memiliki kualitas
tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijuan , bunga mawar yang
berbau harum.
2.3
Aksiologi
Jika ontologi berbicara tentang
hakikat yang ada (objek ilmu) dan epistemologi berbicara tentang bagaimana yang
ada itu bisa diperoleh (cara memperoleh ilmu) maka aksiologi berkaitan dengan
manfaat dari pada ilmu itu sendiri atau kaitan penerapan ilmu itu dengan
kaidah-kaidah moral.
Dalam Wikipedia aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axion yang berarti
“nilai” dan logos yang berarti “ilmu” atau “teori”. Jadi, aksiologi adalah ilmu
tentang nilai. Adapun Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu
mengatakan bahwa aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai
secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa
pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral atau profesional?
Menurut Brameld, ada tiga bagian yang membedakan di dalam aksiologi. Pertama,
moral conduct, tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu
etika. Kedua, esthetic expression, ekspresi keindahan yang melahirkan estetika.
Ketiga, socio-political life, kehidupan sosio-politik. Bidang ini melahirkan
ilmu filsafat sosio-politik.
1. Teori Nilai (Etika)
Problem aksiologis yang pertama berhubungan dengan nilai. Berkaitan dengan
masalah nilai sebenarnya telah dikaji secara mendalam oleh filsafat nilai. Oleh
sebab itu dalam kesempatan kali ini akan dibahas beberapa hal saja yang kiranya
penting untuk dipaparkan berkaitan dengan masalah nilai. Tema-tema yang muncul
seputar masalah ini misalnya apakah nilai itu subjektif atau objektif.
Perdebatan tentang hakikat nilai, apakah ia subjektif atau objektif selalu
menarik perhatian. Ada yang berpandangan bahwa nilai itu objektif sehingga ia
bersifat universal. Di mana pun tempatnya, kapanpun waktunya, ia akan tetap dan
diterima oleh semua orang. Ambil misal mencuri, secara objektif ini salah
karena hal itu merupakan perbuatan tercela. Siapa pun orangnya, di mana pun dan
kapanpun pasti akan sepakat bahwa mencuri dan perbuatan tercela lainnya adalah
salah. Jadi nilai objektif itu terbentuk jika kita memandang dari segi
objektivitas nilai.
Sementara jika kita melihat dari segi diri sendiri terbentuklah nilai
subjektif. Nilai itu tentu saja bersifat subjektif karena berbicara tentang
nilai berarti berbicara tentang penilaian yang diberikan oleh seseorang
terhadap sesuatu. Tentunya penilaian setiap orang berbeda-beda tergantung
selera, tempat, waktu, dan juga latar belakang budaya, adat, agama, pendidikan,
yang memengaruhi orang tersebut. Misalnya bagi orang Hindu tradisi Ngaben
(membakar mayat orang mati) merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap orang
mati dan bagi mereka hal itu dianggap baik dan telah menjadi tradisi. Namun
bagi orang Islam hal itu diangap tidak baik. Berhubungan seksual di luar nikah
asal atas dasar suka sama suka hal ini tidak menjadi masalah dan biasa di
Barat. Tapi bagi orang Islam hal itu jelas hina, jelek, dan salah. Bagi
orang-orang terdahulu, ada beberapa hal yang dianggap tabu, tidak boleh dilakukan
dan tidak pantas tapi hal-hal tersebut tidak lagi bermasalah bagi orang-orang
sekarang ini. Dari sini bisa dilihat bahwa nilai itu bersifat subjektif
tergantung siapa yang menilai, waktu dan tempatnya.
Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang baik dan buruk bukan salah
dan benar. Apa yang baik bagi satu pihak belum tentu baik pula bagi pihak yang
lain dan sebaliknya. Apa yang baik juga belum tentu benar misalnya lukisan
porno tentu bagus—setiap orang tidak mengingkarinya kecuali mereka yang pura-pura
dan sok bermoral—tapi itu tidak benar. Membantu pada dasarnya adalah baik tapi
jika membantu orang dalam tindakan kejahatan adalah tidak benar.
Jadi, persoalan nilai itu adalah persoalan baik dan buruk. Penilaian itu
sendiri timbul karena ada hubungan antara subjek dengan objek. Tidak ada
sesuatu itu dalam dirinya sendiri mempunyai nilai. Susuatu itu baru mempunyai
nilai setelah diberikan penilaian oleh seorang subjek kepada objek. Suatu
barang tetap ada, sekalipun manusia tidak ada, atau tidak ada manusia yang
melihatnya. “Bunga-bunga itu tetap ada, sekalipun tidaak ada mata manusia yang
memandangnya. Tetapi nilai itu tidak ada, kalau manusia tidak ada, atau manusia
tidak melihatnya. Bunga-bunga itu tidak indah, kalau tidak ada pandangan
manusia yang mengaguminya. Karena, nilai itu baru timbul ketika terjadi
hubungan antara manusia sebagai subjek dan barang sebagai objek.”
Namun yang paling penting dari masalah etika adalah implikasi praksisnya.
Artinya sesuatu yang buruk itu seharusnya ditinggalkan sedangkan yang baik
seharusnya dilaksanakan. Dengan demikian ilmu pengetahuan akan memberikan
manfaat bagi kehidupan manusia bukan justru malah mengancam eksistensi manusia
itu sendiri.
Jika kita melihat fenomena yang ada sekarang ini—dunia modern—bagaimana sebuah
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) banyak yang disalahgunakan untuk
tujuan-tujuan kejahatan. Misalnya saja dalam kejahatan perang. Banyak kasus
yang bisa kita utarakan berkaitan dengan masalah ini seperti Perang Dunia,
Perang Teluk, Perang Vietnam hingga perseturuan antara Palestina dan Israel
yang tidak ada henti-hentinya. Mereka yang secara persenjataan lebih maju
seolah dengan alasan pembelaan membenarkan tindakan pengeboman dan pembantaian
masal di mana seringkali korbannya adalah warga sipil. Tindakan seperti ini
tentu tidak bisa dibenarkan, tak berperikemanusiaan dan amoral. Selain itu juga
misalnya pembuatan senjata nuklir dan senjata pemusnah masal yang jelas sekali
mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Itu adalah sekedar contoh dari pemanfaatan
teknologi yang tidak tepat guna. Tentunya masih banyak yang lainnya. Oleh sebab
itu aksiologi dalam hal ini berfungsi untuk memberikan tuntunan bagaimana suatu
hal itu bisa digunakan secara tepat guna.
Memang segala sesuatu itu—termasuk implikasi kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan—mempunyai dampak negatif dan positif. Tapi sebenarnya dampak yang
negatif itu bisa dihindari atau setidaknya diminimalisir. Semua itu adalah demi
kepentingan kehidupan manusia itu sendiri.
2. Estetika
Estetika (aesthetica) mula-mula berarti teori tentang pencerapan penghayatan
pengalaman indera, sesuai dengan istilah Kant dengan transzendentale asthetik
(teori tentang susunan penghayatan panca-indra dalam ruang dan waktu,
berlawanan dengan transzendentale logic: pengetahuan rasional dan penuturan).
Perlawanan yang dikemukakan oleh Kant itu juga dinyatakan oleh Baumgarten.
Ia menempatkan logika sebagai teori pemakaian pemikiran yang benar dan estetika
sebagai teori tentang penghayatan sempurna panca-indera. Masalah yang timbul
tentang estetika yang dihadapi oleh banyak ahli pikir semenjak Plato dan
Aristoteles ialah pernyataan tentang hakikat keindahan dan seni. Dengan
demikian seluruh lapangan nilai, dalam mana keindahan dan seni merupakan
bagiannya, dinamakan lapangan estetika, dikordinasikan dengan logika dan
estetika. Estetika dalam pengertian baru itu diapakai oleh Kant dan Schiller
sehingga menjadi umum di Jerman, meluas ke dalam pemakaian internasional.”
Perdebatan lain yang menarik perhatian berkaitan dengan masalah estetika adalah
tentang keindahan, apakah keindahan itu sesuatu yang sifatnya objektif atau
subjektif? Jika teori tentang nilai mengatakan bahwa persoalan nilai itu adalah
masalah yang subjektif maka sebaliknya dengan persoalan estetika. Persoalan
estetika lebih berpihak pada pandangan objektivisme. Artinya bahwa keindahan
itu merupakan sifat yang objektif yang dimiliki oleh suatu benda. Ia bukanlah
penilain subjektif seseorang. Diantara yang berpandangan seperti ini adalah
Hegel. Hegel menganggap bahwa seluruh alam adalah manifestasi dari Cita Mutlak,
Absolut Idea. Keindahan adalah pancaran Cita Mutlak melalui saluran indera. Ia
adalah sejenis pernyataan ruh. Seni, agama dan filsafat merupakan
tingkat-tingkat tertinggi dari perkembangan ruh.
Sedangkan Kant memberikan arah yang baru sama sekali dalam mencari keterangan
tentang estetika. Dengan Kant dimulailah studi ilmaih dan psikologi tentang
teori estetika. Ia mengatakan dalam The Critique of Judgement bahwa akal
memiliki indera ketiga di atas pikiran dan kemauan. Itulah inder rasa. Yang
khas pada rasa atau kesenangan estetika ialah ia tidak mengandung kepentingan.
Ini membedakannya daripada kesenangan-kesenangan yang lain yang mengandung
unsur keinginan atau terlibat dalam kepentingan pribadi atau hayat. Gula
misalnya tidaklah indah tapi dikehendaki. Kita menginginkannya untuk
menikmatinya. Demikian pula tindakan moral tidal indah. Ia adalah baik. Kita
menyetujuinya karena kepadanya kita mempunyai kepentingan. Sebaliknya dengan
keindahan. Selalu Ia merupakan objek kepuasan yang tidak mengandung
kepentingan, berbeda dari keinginan-keinginan yang lain. Indah, sekalipun
ruhaniah adalah objektif. Karena itu ia selalu merupakan objek penilaian. Kita
mengatakan: “Barang ini indah”. Hal ini menunjukkan bahwa keindahan itu
merupakan sifat objek, tidak hanya sekedar selera yang subjektif. Demikianlah
teori Kant.
Di dalam Islam sendiri konsep “keindahan” itu sangat jelas sekali. Sumber
keindahan itu bahkan bersumber dari Ilahi. Dikatakan bahwa “Allah itu Maha
Indah dan menyukai keindahan”. Demikian juga alam sebagai ciptaannya merupakan
sesutau yang indah dan menakjubkan. Bagaimana kita seringkali mengagumi
keindahan alam yang ada di sekitar kita. Hal ini merupakan sebuah ekspresi
nyata yang sering kali kita ungkapkan. Artinya suatu nilai estetika benar-benar
merupakan sesuatu yang objektif bukan subjektif sebagaimana nilai etika.
3. Sosio Politik
Bagian ketiga dari aksiologi adalah tentang sosio-politik. Sosio-politik ini
merupakan ilmu praksis. Yang pertama mengenai ilmu sosial, dalam hal ini ia
berfungsi sebagai ilmu yang mengatur bagaimana manusia hidup bermasyarakat.
Hanya saja ia mempunyai concern yang lebih spesifik yaitu berkaitan dengan
masalah tindakan manusia atau bagaimana manusia itu harus bergaul, berinteraksi
antara yang satu dengan yang lain. Manusia sebagai makhluk sosial pasti tidak
bisa dilepaskan dari manusia yang lain untuk mempertahankan hidup. Artinya
mereka saling membutuhkan satu sama lain. Dalam perkembagannya, ilmu sosial ini
nantinya akan menjadi disiplin ilmu trsendiri yaitu sosiologi.
Berbicara tentang ilmu sosial tentu juga tidak bisa dilepaskan dari yang
namanya ilmu ekonomi karena masalah sosial juga mencakup masalah ekonomi.
Misalnya bagaimana manusia membutuhkan keberadaan manusia yang lain untuk
memenuhi kebutuhan ekonominya.
Ekonomi dalam tradisi ilmiah Islam, sebagaimana dipahami juga di dalam tradisi
Yunani, harus dipahami sebagai manajemen rumah tangga (tadbir al-manzil), yang
tujuannya adalah memberi bimbingan kepada semua anggota keluarga—terutama
anggota keluarganya—tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan pengelolaan
rumah tangga. Jadi bukan dalam arti ekonomi makro atau ekonomi perusahaan
seperti yang layaknya dipelajari pada masa sekarang di sekolah-sekolah. Karena
itu sebagaimana etika memberikan petunjuk-petunjuk praktis bagaimana bertindak
sebaik mungkin sebagai individu, demikian juga ekonomi memberikan bimbingan
praktis bagaimana bertindak sebaik mungkin sebagai anggota keluarga.”
Berkaitan dengan masalah manajemen rumah tangga juga adalah bagaimana caranya
mencari nafkah yang halal, cara menyimpannya, membelanjakannya dan sebagainya.
Bahkan juga dibahas bagaimana mencari pembantu yang baik, apa kriteria pembantu
yang baik dan bagaimana sikap kita terhadapnya. Yang tidak kalah pentingnya
dalam membangun sebuah rumah tangga adalah bagaimana mencari istri yang baik.
Karena istri merupakan tiang dari sebuah rumah tangga itu sendiri. Demikian
juga dibahas alasan-alasan apa yang menyebabkan seseorang butuh rumah tangga.
Apa prinsip-prinsipnya dan hal apa saja yang diperlukan dalam pengelolaan
sebuah rumah tangga.
Selanjutnya adalah masalah politik. Sebagaimana etika dan ekonomi, politik juga
dipandang dalam tradisi ilmiah Islam, sebagai ilmu praktis, yang tujuannya
member bimbingan kepada manusia, bagaimana menjadi manusia sebaik-baiknya
sebagai seorang anggota masyarakat atau dengan kata lain sebagai makhluk
sosial. Ilmu politik ini terutama penting sekali bagi para pemimpin masyarakat
ataupun pemerintah, karena Ia juga memberi kita arahan tentang bagaimana
memerintah atau mengelola masyarakat yang dipimpinnya.
Masalah politik juga menyangkut masalah kenegaraan sehingga ia juga berbicara
tentang bagaimana mencari seorang pemimpin yang baik dan adil. Apakah
kualifikasinya. Demikian juga dibahas tipe-tipe negara. Misalnya ada negara
utama dan tidak utama. Negara utama hanya punya satu jenis saja sedangkan
negara tidak utama ada yang disebut negara bodoh, negara yang durjana dan
negara yang keliru.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari
uraian di atas kita bisa mengetahui betapa luasnya objek kajian filsafat mulai
dari masalah ontologis, epistemologis hingga aksiologis. Tiga cabang utama
filsafat tersebut merupakan masalah yang paling fundamental dalam kehidupan. Ia
memberikan sebuah kerangkan berpikir yang sangat sistematis. Hal itu
dikarenakan ketiganya merupakan proses berpikir yang diawali dengan pembahasan
“Apa itu kebenaran?”, “Bagaimana mendapatkan kebenaran?”, dan “Untuk apa
kebenaran tersebut (aplikasinya) dalam kehidupan sehari-hari?”
Hal tersebut mengindikasikan bahwa filsafat layak dikatakan sebagai induk dari
semua ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu-ilmu lain akan mengalami hambatan
tanpa peranan filsafat. Hal itu dikarenakan semua permasalah mendasar dari seluruh
ilmu adalah problem filosofis. Hal tersebut harus segera dipecahkan sebagai
langkah awal untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan sekunder. Dengan
kata lain, pada dasarnya semua ilmu pengetahun tidak terlepas dari tiga problem
filosofis tersebut (ontologis, epistemologis dan aksiologis). Artinya semua
ilmu pengetahuan pasti berbicara tentang apa yang menjadi objek kajiannya,
bagaimana cara mengetahuinya dan apa manfaatnya buat kehidupan manusia.
Demikianlah makalah singkat, yang mengangkat tema fundamental dalam dunia
filsafat, ini. Kami mengharapkan tulisan ini bisa menjadi bahan pertimbangan
demi perkembangan pemikiran manusia. Sehingga, buah pemikiran tersebut dapat
melahirkan peradaban besar. Perbedaan pendapat berkaitan dengan Ontologi, Epistemologi,
dan Aksiologi di kalangan filosof semata karena berdasaekan pada aliran
filsafat yang mereka anut. Tetapi, semua itu harus kita apresiasi karena
merupakan tahapan pencarian “kebenaran yang hakiki”. Hal itu dikarenakan ilmu
pengetahun berbicara tentang peluang dan prediksi. Walaupun, sesungguhnya
terdapat kebenaran absolut, tetapi hanya Realitas Absolut yang mengetahui hal
itu. Kita sebagai manusia yang memiliki akal dan hati nurani hanya berupaya
mencapai kebenaran tersebut sampai akhir hayat dan mengaplikasikannya untuk
kemaslahatan umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Tafsir,
Ahmad. Filsafat Ilmu,mengurai ontologi, epistemologi, dan aksiologi pengetahuan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya . 2009